Tuesday, March 22, 2016

Sistem Pemerintahan di Timur-Tengah

Kawasan Timur-Tengah
Kawasan Timur-Tengah dapat dikatakan sebagai tempat lahir sekaligus pusat kebudayaan dan peradaban manusia yang tertua di dunia. Selain itu, kawasan Timur-Tengah juga dikenal sebagai tempat lahirnya tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Sebagai tempat di mana perang saudara, konflik antarsuku, hingga perebutan teritori kekuasaan sering terjadi – dan sebagian diantaranya masih berlangsung hingga saat ini –, sejarah sistem politik yang ada di kawasan Timur-Tengah menjadi topik yang menarik untuk dipelajari. Selain itu, berbagai dinamika politik yang terjadi sepanjang sejarah keberlangsungannya juga menjadi tema yang menarik untuk didiskusikan.

Masyarakat Timur-Tengah sebagian besar adalah orang-orang yang hidup di gurun pasir yang panas dan berdebu. Kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap pembentukan watak masyarakat Timur-Tengah yang cenderung keras dan menjunjung tinggi fanatisme kesukuan (‘ashabiyyah). Sistem pemerintahan di kawasan Timur-Tengah dalam sejarah telah mengalami berkali-kali perubahan. Secara umum, perubahan sistem pemerintahan di Timur-Tengah dapat dibagi menjadi 4 (empat) masa, yaitu masa pra-Islam, masa kemunculan agama Islam, masa kekhalifahan Islam, dan masa Arab modern.

A. Sistem Pemerintahan di Timur-Tengah Pada Masa Pra-Islam

Pada masa pra-Islam yang dikenal sebagai ‘masa jahiliyah’, bangsa Arab sudah hidup dalam berbagai kelompok suku atau kabilah yang gemar berperang satu sama lain. Beberapa abad sebelumnya, tercatat ada beberapa kerajaan yang pernah eksis di Semenanjung Arab. Kerajaan-kerajaan pertama yang berhasil diketahui pernah eksis di Arab Selatan (sekarang Yaman) adalah Kerajaan Saba dan Kerajaan Minea (700-3 SM). Kedua kerajaan tersebut menganut sistem teokrasi dan kemudian menganut sistem sekuler.

Sejarah juga mencatat bahwa di Arab Selatan pernah berdiri Kerajaan Himyar, Kerajaan Qataban, dan Kerajaan Hadramaut, yang semuanya menyembah berhala dan matahari. Sementara itu, di kawasan Arab Utara pernah berdiri Kerajaan Nabatea, Kerajaan Ghassan, Kerajaan Palmyra, Kerajaan Lakhmi, hingga Kerajaan Kindah, yang semuanya menganut sistem monarki absolut. Kerajaan Lakhmi dan Kerajaan Kindah banyak dipengaruhi oleh ajaran Kristen Nestorian. Kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Arab Utara rata-rata berada di bawah pengaruh Kekaisaran Bizantium, sedangkan kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Arab Selatan banyak dipengaruhi Kekaisaran Persia.

B. Masa Kelahiran Agama Islam

Ketika Islam lahir dan berkembang di Jazirah Arab, banyak kabilah yang menyatakan masuk Islam dan tunduk di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Islam yang mengesampingkan fanatisme kesukuan berhasil mempersatukan kabilah-kabilah Arab menjadi satu saudara melalui ukhuwah islamiyah.

Sistem pemerintahan Islam yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. berkarakter sentralistik. Rasulullah saw. bertindak sebagai pemimpin tertinggi spiritual sekaligus sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan yang juga menjadi panglima perang. Negara Islam (Daulah Islamiyah) yang Rasulullah saw. bangun dan beribukota di Madinah Al-Munawwarah berbentuk negara teokrasi Islam dengan wilayah yang membentang di seluruh Semenanjung Arab.

Tidak hanya umat Islam yang tunduk di bawah Negara Islam Madinah, tetapi juga umat Yahudi dan orang-orang musyrik yang terikat dalam Piagam Madinah. Pada tahun ke-9 Hijriyah (630-631 M), Nabi Muhammad saw. berhasil membuat perjanjian damai dengan kepala suku Kristen, bernama Perjanjian Aqabah, dan sejumlah suku Yahudi. Perjanjian itu diantaranya menyatakan bahwa penduduk asli yang beragama Kristen dan Yahudi akan dilindungi oleh umat Islam dan membayar jizyah (upeti).

Sepanjang tahun ke-9 Hijriyah itu juga berdatangan utusan dari berbagai daerah untuk membuat aliansi dengan Negara Islam. Bangsa Arab yang sebelumnya tidak pernah tunduk pada perintah satu orang akhirnya tunduk dalam dominasi kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dan ikut berjuang bersama beliau. Dengan demikian, Rasulullah saw. semakin menegaskan posisinya sebagai pemimpin tunggal dalam Islam, baik secara spiritual maupun dalam tata-negara.

Nabi Muhammad saw. menjalankan posisinya sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara dengan tidak otoriter atau sewenang-wenang. Nabi Muhammad saw. memimpin umat Islam dengan tuntunan wahyu Ilahi dan terkadang bermusyawarah bersama para sahabatnya. Banyak hukum atau kebijakan Rasulullah saw. yang berasal dari saran para sahabat.

C. Sistem Pemerintahan Timur-Tengah Pada Masa Kekhalifahan Islam

Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., bentuk negara yang dikenal umat Islam adalah Kekhalifahan Islam. Peran Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul tidak tergantikan. Istilah “khalifah” sebagai pemimpin Kekhalifahan Islam berarti “pengganti” kepemimpinan Rasulullah saw. dalam bidang agama dan pemerintahan, dan bukan lagi sebagai penerima wahyu. Al-Mawardi dalam kitabnya “Al-Ahkam Al-Sulthaniya” dan beberapa ulama Sunni menyebutkan bahwa kriteria khalifah adalah haruslah keturunan Quraisy, laki-laki dewasa, sehat badan dan pikiran, berani dan bertenaga untuk melindungi wilayah Islam, serta memperoleh pengakuan dari umat Islam melalui baiat.

Tugas khalifah diantaranya adalah melindungi keimanan Islam, mempertahankan wilayah Islam, menyatakan jihad dalam keadaan terpaksa, mengangkat pejabat negara, menarik pajak dan mengatur keuangan masyarakat, serta menegakkan keadilan. Masa Kekhalifahan Islam dimulai sejak era Abu Bakar Al-Shiddiq (632-634 M), Umar bin Al-Khaththab (634-644 M), Utsman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M).

Khalifah memiliki beberapa keistimewaan seperti penyebutan namanya pada setiap khutbah Jumat dan keping mata uang, hak menggunakan burdah (jubah nabi) pada acara-acara penting kenegaraan, serta pengurusan benda-benda suci seperti perabotan, stempel, hingga gigi dan rambut milik Rasulullah saw.

Secara umum, era kekhalifahan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) berlangsung secara demokratis, karena setiap khalifah ditetapkan melalui proses musyawarah di antara para pemimpin masyarakat Islam sebelum dibaiat. Selain itu, sistem pemerintahan pada era Khulafaur Rasyidin tidak bersifat monarki, karena para khalifah dijabat oleh para sahabat Rasulullah saw. yang paling tinggi kemampuannya secara bergantian, tidak turun-temurun, dan demokratis (melalui musyawarah-mufakat).

Sementara itu, kelompok Syiah tidak mengenal konsep kekhalifahan, tetapi imamah. Mereka menyatakan bahwa jabatan imamah hanya bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya yang diklaim telah ditunjuk oleh Rasulullah saw. untuk menggantikannya dengan ketentuan Allah.

D. Sistem Pemerintahan Pada Masa Dinasti Umawiyah

Dinasti Umawiyah yang didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 660 M adalah peletak dasar sistem kerajaan atau monarki turun-temurun dalam Islam. Meskipun istilah ‘kekhalifahan’ atau ‘khilafah’ masih digunakan dalam menyebut negara Umawiyah, akan tetapi sesungguhnya sistem kepemimpinannya sudah tidak lagi demokratis melalui musyawarah-mufakat. Muawiyah dianggap sebagai raja pertama dalam Islam dan sejak itu tahta khalifah Kekhalifahan Umawiyah diwariskan secara turun-temurun kepada keturunannya.

Imperium Umawiyah menjalankan sistem pemerintahan sentralistik, di mana semua kebijakan dan keputusan ada di tangan khalifah, sedangkan para gubernur menjadi pembantu-pembantu khalifah. Pemerintahan Dinasti Umawiyah sendiri cenderung meniru sistem Kekaisaran Bizantium dan Kekaisaran Persia.

E. Sistem Pemerintahan Pada Masa Dinasti Abbasiyah

Dalam menjalankan pemerintahan, Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan Dinasti Umawiyah, yakni sistem monarki yang sentralistik. Dinasti Abbasiyah dikenal sebagai imperium Islam yang sangat menonjolkan Arabisme, dimana pada masa ini bahasa dan kebudayaan Arab sangat diutamakan, sehingga berkembang sangat pesat. Banyak buku-buku berbahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga sangat berperan dalam mengiringi kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Imperium Abbasiyah.

Pasca-kemunduran Dinasti Abbasiyah, muncul beberapa kerajaan di dunia Islam seperti Imperium Fatimiyah di Mesir, Imperium Umawiyah II di Spanyol, Imperium Buwaihi di Persia, dan lain-lain. Sistem monarki sentralistik dalam negara Islam sendiri terus bertahan hingga munculnya Dinasti Utsmaniyah di Turki.

F. Sistem Pemerintahan Pada Masa Dinasti Utsmaniyah

Kekhalifahan Turki Utsmaniyah adalah imperium Islam di kawasan Timur-Tengah yang tidak berasal dari bangsa Arab. Dinasti Utsmaniyah berdiri pada tahun 1299 M dengan Utsman I sebagai raja atau khalifah pertamanya. Dinasti Utsmaniyah adalah kekhalifahan terakhir dalam sejarah Islam. Dinasti Utsmaniyah atau Imperium Turki Ottoman menjalankan sistem pemerintahan monarki absolut. Meskipun demikian, Imperium Turki Ottoman mengenal adanya Majelis Syura yang berfungsi memberikan pertimbangan atau nasihat kepada para khalifah atau para sultan. Majelis Syura terdiri atas para ulama yang diangkat langsung oleh sultan (khalifah).

Imperium Turki Ottoman memiliki wilayah yang sangat luas terbentang dari Aljazair di Afrika Utara hingga Azerbaijan di Asia Tengah dan dari Rumelia di Eropa Timur hingga Yaman di Arab Selatan. Ibukota Imperium Turki Ottoman adalah Konstantinopel yang kemudian menjadi Istanbul. Pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520 M), disusun sebuah undang-undang bernama “Multaqa Al-Abhur” oleh Ibrahim Al-Halabi, yang mengatur hukum-hukum Turki Utsmani hingga terjadinya revolusi pada abad ke-19.

Dalam struktur pemerintahan Imperium Turki Ottoman, sultan atau khalifah adalah penguasa tertinggi yang dibantu oleh shadr al-a’zham (perdana menteri) yang membawahi para gubernur yang memimpin setiap provinsi. Di bawah gubernur terdapat al-zanaziq atau al-alawiyah, yakni para bupati.

Selanjutnya, Imperium Turki Ottoman mengalami kemunduran akibat lemahnya beberapa sultan yang diiringi gencarnya ekspansi negara-negara Eropa terhadap berbagai wilayah kekhalifahan. Setelah Imperium Turki Ottoman mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I, satu per satu wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah lepas ke tangan Barat dan sebagian lainnya memerdekakan diri. Maroko, Aljazair, Tunisia, Suriah, dan Libanon dikuasai Prancis. Libya diduduki Italia. Inggris kemudian berkuasa di Palestina, Irak, dan kawasan Teluk Arab.

Deklarasi kemerdekaan Republik Turki modern pada tanggal 29 Oktober 1923 yang dilanjutkan dengan dihapuskannya sistem kekhalifahan Islam secara total pada tanggal 3 Maret 1924 oleh Presiden Mustafa Kemal Pasha Atatturk menjadi akhir cerita kekhalifahan Islam yang telah berlangsung selama hampir 14 abad. Turki kemudian menjadi republik parlementer.

G. Sistem Pemerintahan di Timur-Tengah Pada Masa Modern

Sejak imperialisme Eropa di awal-awal abad ke-19, Dunia Arab mengalami kebangkitan dan mulai muncul kesadaran akan pentingnya nasionalisme Arab. Buah dari keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah adalah lahirnya negara-negara Arab baru di kawasan Timur-Tengah dengan semangat nasionalisme terhadap bangsa atau kabilah terkuatnya masing-masing.

Mesir memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tanggal 28 Februari 1922 dan saat itu berbentuk kerajaan. Tiga dekade kemudian, pada tanggal 23 Juli 1952 Gamal Abdel Nasser menggulingkan Raja Farouq dan membentuk pemerintahan dengan sistem republik presidensial. Selain itu, presiden-presiden Mesir yang pada umumnya berasal dari kalangan angkatan bersenjata membuat Mesir cenderung didominasi oleh pemerintahan bercorak junta militer hingga sekarang.

Arab Saudi pada awalnya terdiri atas dua wilayah utama, yakni Hijaz dan Najd, dimana Hijaz sebelumnya merupakan salah satu provinsi utama Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, karena di dalamnya terdapat dua kota suci Makkah dan Madinah. Setelah Imperium Turki Ottoman hancur pada tahun 1924, Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932  dengan keberhasilan penyatuan Hijaz dan Najd dan penetapan Riyadh sebagai ibukota negara.

Selanjutnya, Arab Saudi berbentuk monarki konstitusional (mamlakah dusturiyah), dimana raja sebagai pemimpin tertinggi negara dibantu oleh keberadaan Majelis Syura yang diisi oleh kalangan ulama dengan fungsi memberikan nasihat dan masukan kepada raja. Akan tetapi, pada akhirnya hanya raja yang memiliki kewenangan penentu keputusan tertinggi. Adapun hukum yang berlaku di Arab Saudi dikembalikan kepada hukum-hukum Alquran sebagai konstitusi tertinggi. Menariknya, Arab Saudi sendiri tidak pernah dijajah oleh bangsa Barat, sebagaimana Semenanjung Arab pada masa lampau juga tidak pernah diduduki oleh Imperium Bizantium ataupun Imperium Persia.

Pada tanggal 3 Oktober 1932, Irak diberi kemerdekaan oleh Inggris dan berbentuk negara monarki dengan Faisal bin Hussein (Faisal I) sebagai raja pertama. Setelah terjadinya revolusi dan kudeta, semenjak 14 Juli 1958, Irak berubah menjadi negara federal dengan sistem republik parlementer.

Negara-negara yang berada di kawasan Teluk Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Oman, ditambah Yordania memilih bentuk monarki konstitusional dengan raja, sultan, atau emir sebagai pemimpin dan penentu keputusan tertinggi. Adapun Suriah dan Libanon semenjak mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1946 memilih bentuk pemerintahan republik parlementer. Pemerintahan Libanon memiliki keunikan tersendiri, dimana presiden dijabat oleh penganut Kristen Manorit, perdana menteri dijabat oleh penganut Sunni, dan ketua parlemen dijabat oleh penganut Syiah.

Saat ini, kawasan Timur-Tengah menurut sebagian kalangan tidak hanya terdiri atas negara-negara Arab dan Israel yang berada di wilayah Asia Barat. Menurut sebagian kalangan, kawasan Timur-Tengah juga mencakup negara-negara sekitar yang secara geografis termasuk ke dalam wilayah tersebut. Negara-negara tersebut antara lain Turki, Iran, Afghanistan, Pakistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan.

~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S..

Sunday, March 20, 2016

Lagu Liturgi Yahudi - Shalom Aleichem

Pada kesempatan postingan kali ini, saya akan menguraikan sedikit mengenai salah satu lagu yang biasa dinyanyikan oleh umat Yahudi dan cukup populer, yaitu "Shalom Aleichem". Lagu "Shalom Aleichem" (dalam bahasa Arab: "Al-Salam 'Alaikum"), adalah salah satu lagu liturgi (ritual ibadah) yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Yahudi setiap Jumat malam seusai pulang dari sinagog. Lagu ini biasa dilantunkan untuk menyambut datangnya hari Sabtu yang dalam teologi Yahudi dikultuskan sebagai Hari Sabat (sebagaimana pengkultusan hari Jumat bagi umat Islam dan hari Minggu bagi umat Kristen).

Dalam keyakinan Yahudi, lagu "Shalom Aleichem" dipersembahkan untuk menyambut kehadiran para malaikat yang turun dari langit guna menyertai hamba-hamba Yahweh (Tuhan) setiap malam Sabtu. Lagu "Shalom Aleichem" pada umumnya dinyanyikan dengan riang gembira sebagai bentuk sukacita manusia atas kehadiran para malaikat utusan Tuhan yang datang untuk membawa berkat dan kedamaian.

Lagu "Shalom Aleichem" yang terdapat dalam video klip YouTube berikut ini dinyanyikan oleh anak-anak paduan suara Yeshiva Darchei Torah. Yeshiva adalah institusi pendidikan agama Yahudi yang serupa dengan "Ma'had" alias "Pesantren" dalam tradisi Islam.


Lirik lagu "Shalom Aleichem" dalam bahasa Ibrani:

Shalom alechem malache ha-sharet malache elyon.
Mi-melech malche ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.


Bo'achem le-shalom malache ha-shalom malache elyon.
Mi-melech malche ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.


Barchuni le-shalom malache ha-shalom malache elyon.
Mi-melech malche ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.


Tzet'chem le-shalom malache ha-shalom malache elyon.
Mi-melech malche ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.


Terjemahan lagu "Shalom Aleichem" dalam bahasa Indonesia:

Damai sejahtera atasmu, wahai para malaikat utusan Tuhan, para utusan Yang Mahatinggi.
Para utusan Raja segala raja, Yang Maha Esa lagi Mahakudus, terpujilah Dia.

Datanglah dalam damai, wahai para utusan damai, para utusan Yang Mahatinggi.
Para utusan Raja segala raja, Yang Maha Esa lagi Mahakudus, terpujilah Dia.

Berkatilah aku dengan kedamaian, wahai para utusan damai, para utusan Yang Mahatinggi.
Para utusan Raja segala raja, Yang Maha Esa lagi Mahakudus, terpujilah Dia.

Kiranya kedatanganmu senantiasa dalam kedamaian, wahai para utusan damai, para utusan Yang Mahatinggi.
Para utusan Raja segala raja, Yang Maha Esa lagi Mahakudus, terpujilah Dia.

~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S..