Tuesday, July 25, 2017

Makna Lambang Negara Kerajaan Arab Saudi

Lambang negara Kerajaan Arab Saudi terdiri atas dua bilah pedang yang saling menyilang dan di atasnya terdapat sebuah pohon kurma yang merupakan tumbuhan khas negeri padang pasir di kawasan Timur-Tengah. Lambang negara Kerajaan Arab Saudi selalu kita jumpai apabila kita menyaksikan kanal stasiun televisi nasional mereka. Maskapai penerbangan nasional Kerajaan Arab Saudi, yaitu Saudi Arabian Airlines, juga memasang lambang negara mereka di badan pesawat. Lantas, apa sebenarnya makna lambang negara Kerajaan Arab Saudi.

شعار المملكة العربية السعودية
Sejauh pengamatan penulis, paling tidak ada dua argumentasi yang dapat digunakan untuk menafsirkan lambang negara Kerajaan Arab Saudi. Pendapat yang pertama menafsirkan bahwa dua bilah pedang yang terdapat dalam lambang negara Kerajaan Arab Saudi merujuk kepada dua wilayah terbesar di negeri tersebut, yaitu Najd dan Hijaz. Pada awal tahun 1902, Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud berhasil menaklukkan Kastil Masmak yang berada di kota Riyadh yang merupakan kota terbesar di wilayah Najd dan membunuh penguasa setempat yang bernama Ajlan. Abdul Aziz kemudian mendirikan Keemiran Riyadh dan menjadi amirnya. Setelah melalui serangkaian ekspansi militer, Abdul Aziz berhasil menaklukkan seluruh wilayah Najd. Abdul Aziz pun mendirikan Kesultanan Najd dan ia bertindak sebagai sultan yang memiliki kekuasaan absolut.

Selanjutnya pada tahun 1925, Abdul Aziz memimpin pasukan militer menuju wilayah Hijaz dalam rangka merebut dua kota suci Makkah dan Madinah dari pangkuan kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah yang secara administratif saat itu dipimpin oleh Syarif Ali bin Hussein. Setelah berhasil mengusir Syarif Ali bin Hussein beserta pengikutnya dari Hijaz pada awal tahun 1926 yang juga sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah atas dua kota suci Makkah dan Madinah, Abdul Aziz dinobatkan menjadi Raja Hijaz. Saat itu, Abdul Aziz menguasai dua negara sekaligus, yaitu Kerajaan Hijaz dan Kesultanan Najd dengan gelar rangkap sebagai raja dan sultan.

Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud - Pendiri dan Raja Pertama Kerajaan Arab Saudi.
Pada tahun 1927, Abdul Aziz mempersatukan Kerajaan Hijaz dan Kesultanan Najd menjadi satu negara, yaitu Kerajaan Hijaz dan Najd. Selanjutnya, Abdul Aziz memutuskan untuk mengintegrasikan Kerajaan Hijaz dan Najd dengan wilayah Al-Ahsa' di utara dan Al-'Asir di selatan guna membentuk sebuah negara monarki baru yang bersatu dan kuat. Kemudian tepat pada tanggal 23 September 1932, Abdul Aziz mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi dan ia langsung dibaiat menjadi raja pertama negara tersebut di Masjidil Haram, Makkah. Nah, dua bilah pedang yang terdapat dalam lambang negara Kerajaan Arab Saudi merujuk kepada sejarah unifikasi Kerajaan Hijaz dan Kesultanan Najd yang menjadi awal-mula persiapan pembentukan negeri terbesar di Jazirah Arab tersebut.

Peta Wilayah Hijaz dan Najd Beserta Sejarah Ekspansi Teritorial Kerajaan Arab Saudi.
Sementara itu, pendapat yang kedua menafsirkan bahwa dua bilah pedang yang terdapat dalam lambang negara Kerajaan Arab Saudi merujuk kepada 'Dua Muhammad' yang mendirikan cikal-bakal negeri tersebut pada pertengahan abad ke-18 silam. 'Dua Muhammad' yang dimaksud adalah Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Muhammad bin Saud adalah penguasa Keemiran Dir'iyyah dengan kedudukan sebagai amir yang memiliki otoritas absolut atas pemerintahan negara di bidang politik, ekonomi, dan militer. Adapun Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ulama sekaligus tokoh pembaru Islam (mujaddid) yang gencar mengkampanyekan urgensi purifikasi keyakinan monoteisme mutlak atau pemurnian akidah tauhid di kalangan umat Islam yang saat itu gemar melakukan berbagai perbuatan bidah, syirik, khurafat, dan takhayul. Disebabkan karena kegigihan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam gerakan dakwahnya yang cenderung keras memerangi praktik ritual umat Islam saat itu yang ternodai oleh perilaku bidah, syirik, dan khurafat, ia diusir dari kampung halamannya sendiri di 'Uyainah oleh masyarakat setempat yang berada di dekat kota Riyadh.

Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian diterima di Dir'iyyah oleh Amir Muhammad bin Saud dan mendapatkan proteksi yang kuat di sana. Bahkan, atas seizin Amir Muhammad bin Saud, Muhammad bin Abdul Wahhab dengan leluasa menyebarluaskan ajaran-ajarannya dalam bidang keagamaan, khususnya mengenai purifikasi tauhid umat Islam, di wilayah Dir'iyyah. Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab terus melanjutkan kerjasama dan kolaborasi yang erat diantara keduanya hingga akhirnya pada tahun 1744 mereka menjalin sebuah kesepakatan politik yang bersifat simbiosis mutualisme alias saling menguntungkan.

Dalam sebuah pertemuan bersejarah di Dir'iyyah pada tahun 1744, Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab sepakat untuk membentuk sebuah negara monarki teokrasi Islam dengan pembagian jatah kekuasaan diantara mereka. Keduanya menyepakati sebuah klausul yang mengatur bahwa Muhammad bin Saud beserta keturunannya memiliki otoritas absolut terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan kekuasaan negara, politik, ekonomi, dan angkatan bersenjata. Adapun Muhammad bin Abdul Wahhab beserta keturunannya mendapatkan wewenang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan keagamaan. Klausul pembagian jatah kekuasaan tersebut kemudian dikenal dengan istilah "Kesepakatan Perjanjian Dir'iyyah 1744". Pada tahun itu juga, Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahhab membentuk Negara Saudi Pertama (Al-Daulah Al-Su'udiyyah Al-Ula atau The First Saudi State) dengan nama tetap Keemiran Dir'iyyah.

Kesepakatan Perjanjian Dir'iyyah 1744 kemudian menjadi tonggak paling awal dalam rangkaian sejarah berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Pada perkembangan selanjutnya, Muhammad bin Saud menjadi kakek moyang bagi raja-raja, pangeran-pangeran, serta keluarga Kerajaan Arab Saudi hingga saat ini. Keluarga Kerajaan Arab Saudi dikenal dengan istilah "Al-Saud" yang berarti "Dinasti Saud". Sementara itu, gerakan keagamaan yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab kemudian dikenal dengan istilah "Wahabisme" dan para pengikutnya disebut sebagai "kaum Wahabi". Keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab lantas dikenal dengan istilah "Al Al-Syaikh" yang berarti "Dinasti Syaikh". Syaikh adalah gelar kehormatan keagamaan yang merujuk kepada Muhammad bin Abdul Wahhab yang sangat dihormati oleh umat Islam di Arab Saudi.

Muhammad bin Abdul Wahhab (berdiri) dan Muhammad bin Saud (duduk).
Terkait penamaan "Wahabisme" dan "kaum Wahabi", sesungguhnya para pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dengan tegas menolak istilah-istilah tersebut dimanapun mereka berada. Para pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab mendeklarasikan diri mereka sebagai "Al-Muwahhidun" yang secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti "Para Penegak Tauhid". Bagi para pengikutnya, Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang tokoh ulama besar yang tidak membawa ajaran baru dalam agama Islam, akan tetapi berjuang memurnikan ajaran tauhid dari berbagai kerusakan akibat perbuatan-perbuatan bidah, syirik, khurafat, dan takhayul di kalangan umat Islam.

Demikian penjelasan singkat mengenai makna lambang negara Kerajaan Arab Saudi. Semoga artikel singkat ini dapat menambah wawasan kita mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan sejarah kawasan Timur-Tengah.

~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S., M.Si..
Nasionalis-Sukarnois-Pancasilais-Marhaenis.

Langkah Pemerintah Republik Indonesia Membubarkan Hizbut Tahrir Sudah Tepat

Bagi penulis secara pribadi dan juga rekan-rekan nasionalis pengikut ajaran Bung Karno, Rabu tanggal 19 Juli 2017 adalah hari yang sangat baik. Pada hari itu, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) secara resmi mencabut status badan hukum alias legalitas organisasi kemasyarakatan (ormas) Hizbut Tahrir Indonesia dengan berlandaskan atas Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Ormas Pasal 80A. Dengan demikian, Hizbut Tahrir Indonesia resmi dibubarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Sikap pemerintah RI di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo yang berani menempuh langkah tegas membubarkan HTI wajib diapresiasi dan didukung penuh, terutama oleh masyarakat yang mengklaim sebagai kaum nasionalis yang cinta tanah air. Bahkan sesungguhnya, langkah tepat pemerintah membubarkan HTI seharusnya sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari ketika ormas tersebut muncul untuk kali pertama di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 silam.

Sejak awal kemunculannya, HTI telah menunjukkan garis ideologi dan sikapnya secara terang-terangan yang anti-Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti-NKRI. Gagasan mengenai pembentukan Daulah Khilafah Rasyidah Islamiyah alias Negara Islam Transnasional yang diusung oleh HTI sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa mereka memang layak dibubarkan karena berpotensi mengancam integritas persatuan dan kesatuan nasional bangsa Indonesia.

Pemerintah tidak mungkin gegabah ketika memutuskan membubarkan suatu ormas, apalagi yang jelas-jelas membawa semangat dan melakukan berbagai kegiatan yang anti-Pancasila. Sebagaimana yang telah dijelaskan secara detail oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Republik Indonesia Bapak Wiranto, ada tiga alasan utama yang menjadi landasan bagi pemerintah untuk membubarkan ormas HTI, yaitu:
  1. Sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional;
  2. Kegiatan yang dilaksanakan oleh HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri-ciri yang berdasarkan atas Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Ormas; dan
  3. Aktivitas yang dilakukan oleh HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban umum, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Tiga alasan yang disampaikan oleh Pak Wiranto di atas memang sepenuhnya benar. Sekarang jawablah melalui hati nurani Anda, apa saja sih peran-peran positif yang telah dilakukan oleh para ustaz dan aktivis HTI selama ini bagi pembangunan nasional bangsa kita? Selama ini, dakwah-dakwah yang disampaikan oleh para ustaz, dai, dan aktivis HTI dalam berbagai kesempatan serta tulisan-tulisan yang dimuat dalam media-media milik HTI seperti Al-Islam, Al-Wa'ie, dan MediaUmmat selalu mengkritik dan menyalahkan apapun yang dilakukan oleh pemerintah.

Mengkritik adalah hal yang lumrah dilakukan dalam alam demokrasi, akan tetapi tentunya wajib disampaikan secara konstruktif. Artinya, bukan hanya kritikan yang dilontarkan, melainkan harus disertai dengan argumen-argumen yang logis dan saran-saran yang bersifat membangun demi kebaikan bangsa, negara, dan masyarakat. Semua kritikan yang dilontarkan oleh HTI memang selalu disertai dengan 'masukan' di akhir dakwah atau tulisan mereka, akan tetapi saran-saran mereka tidak pernah ada yang bersifat membangun dan malah nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Setiap para ustaz dan aktivis HTI mengakhiri dakwah atau tulisannya, saran yang diberikan selalu ajakan kepada umat Islam untuk mendirikan Khilafah beserta dalil-dalil yang menurut mereka menjadi landasan teoretis mengenai kewajiban pembentukan negara Islam transnasional tersebut.

Melalui penyebaran dakwah dan tulisan, HTI berupaya mempromosikan gagasan dan konsepsi mengenai Khilafah dengan cara yang secara fisik mungkin tidak mengancam, akan tetapi secara logis sangat berbahaya, yaitu menggunakan metode ghazwat al-fikr alias perang pemikiran alias proses indoktrinasi! Dengan menggunakan metode ghazwat al-fikr, HTI berusaha menanamkan doktrin-doktrin mereka mengenai konsepsi Khilafah kepada khalayak umum sebanyak-banyaknya, baik melalui ceramah-ceramah di berbagai tempat maupun melalui artikel-artikel di berbagai media.

Sasaran HTI dalam proses indoktrinasi konsepsi Khilafah pun luar biasa, yakni lebih banyak menyasar kaum remaja dan anak-anak muda yang sebagian besar secara emosional masih cukup labil, terutama kaum wanita yang secara psikologis lebih mudah baper alias terbawa perasaan. Apalagi bagi para pemuda yang jiwa nasionalismenya masih rendah dan pemahaman kewarganegaraannya masih minim, mereka dapat dengan mudah terpengaruh oleh doktrin-doktrin konsepsi Khilafah yang sangat bertentangan dengan Pancasila dan NKRI. Lihatlah betapa banyaknya aktivis-aktivis HTI yang menyusup ke berbagai instansi pendidikan untuk menyebarluaskan doktrin-doktrin konsepsi Khilafah!

Para aktivis HTI menyusup ke berbagai sekolah, madrasah, perguruan tinggi, hingga lembaga bimbingan belajar untuk menularkan doktrin-doktrin konsepsi Khilafah kepada para pelajar secara terstruktur, terorganisir, sistematis, dan terselubung. Para aktivis HTI dengan lihainya menyelipkan doktrin-doktrin konsepsi Khilafah di balik berbagai kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah hingga universitas-universitas, seperti kegiatan ekstrakurikuler religius atau kegiatan ROHIS (rohani Islam). Jelas semua itu bukan peran positif yang dilakukan oleh HTI, melainkan peran negatif. Ini semua harus dihentikan demi kebaikan bangsa Indonesia.

Di samping menyebarkan dakwah dan tulisan yang bertujuan mempengaruhi mindset atau pola pikir masyarakat agar mendukung gagasan pembentukan Khilafah, ormas HTI juga sangat aktif melakukan berbagai kegiatan yang sebetulnya tidak lagi terindikasi kuat, akan tetapi bahkan telah terbukti bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri-ciri yang berlandaskan atas Pancasila dan UUD 1945. Anda mau bukti? Silakan telusuri dan simak berbagai rekaman video yang berisi tentang aksi-aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang telah dilakukan oleh para aktivis dan kader HTI selama ini. Dalam setiap kesempatan unjuk rasa (HTI menyebutnya sebagai 'Aksi Islam'), para aktivis dan kader HTI tidak hanya gencar menyalahkan apapun kebijakan pemerintah, akan tetapi juga sangat vokal dalam menyuarakan gagasan pembentukan Khilafah Islamiyah.

Dalam setiap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh massa ormas HTI, mereka dengan beraninya mengibar-ngibarkan 'bendera Hizbut Tahrir' yang sejatinya adalah panji Nabi Muhammad saw. yang sangat dimuliakan oleh umat Islam, yaitu Al-Raya dan Al-Liwa'. Al-Raya adalah bendera berwarna latar belakang hitam dan bertuliskan kalimat syahadat berwarna putih. Adapun Al-Liwa' adalah bendera berwarna latar belakang putih dan bertuliskan kalimat syahadat berwarna hitam. Meskipun Al-Raya dan Al-Liwa' adalah bendera yang melambangkan panji Rasulullah saw., akan tetapi karena sudah terlanjur dipolitisasi oleh Hizbut Tahrir untuk menunjukkan eksistensi mereka, jadilah keduanya acapkali disebut sebagai 'bendera HTI'.

Bukannya kita tidak menghormati panji Rasulullah saw., akan tetapi selama Hizbut Tahrir mempolitisasinya untuk ambisi dan tujuan politik mereka, sebaiknya kita cukup mengetahui dan tidak perlu mengibarkannya. Sejarah umat Islam, apalagi kisah kehidupan Nabi Muhammad saw. (sirah nabawiyah), dipenuhi oleh keagungan dan kemuliaan yang tidak boleh dimanfaatkan oleh ormas manapun untuk ambisi dan tujuan politiknya. Kalau mau, kibarkanlah dwiwarna Sang Merah-Putih yang menjadi bendera kebangsaan Indonesia yang menjadi kebanggaan rakyat dari Sabang sampai Merauke.

Kenyataannya massa HTI sangat hobi mengibar-ngibarkan 'bendera Hizbut Tahrir' dan secara tersirat, hal tersebut mendeskripsikan penentangan mereka terhadap bendera kebangsaan yang kita cintai, yaitu Sang Merah-Putih. Bahkan, ada segelintir aktivis garis keras HTI (tidak perlu disebutkan identitasnya di sini) yang mengungkapkan niatnya yang ingin mengganti Sang Merah-Putih dengan 'bendera Hizbut Tahrir', karena bendera kebangsaan kita dianggap sebagai wujud thaghut alias berhala! Sebagian kader HTI yang sudah terlanjur ekstrem bahkan ada yang dengan lancangnya berani memelesetkan singkatan NKRI menjadi 'Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah'! Apakah kegiatan-kegiatan HTI yang demikian itu sesuai dengan tujuan, asas, dan ciri-ciri yang berlandaskan atas Pancasila dan UUD 1945? Tentu saja jawabannya adalah TIDAK! I answered with a big fat NO!.

Semua kegiatan HTI, termasuk 'Aksi Islam'-nya, terbukti bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri-ciri yang berdasarkan atas Pancasila dan UUD 1945. Bagi HTI, hanya ada dua jenis negara di dunia ini, yaitu darul Islam (negara Islam) dan darul kufur (negara kafir). Tentu saja definisi keduanya berdasarkan interpretasi HTI sendiri, yakni antara konsep Khilafah Islamiyah dengan bentuk negara-bangsa yang eksis di seluruh dunia saat ini. Pokoknya bagi HTI, Pancasila dan Sang Merah-Putih adalah thaghut (berhala) dan NKRI adalah bukan darul Islam (silakan interpretasikan sendiri).

Segala aktivitas dan kegiatan HTI dapat dipastikan selalu bertujuan untuk mengagitasi masyarakat, khususnya umat Islam, agar kelak berani memberontak kepada pemerintah negara yang sah dan berdaulat guna memuluskan impian mereka yang menginginkan tegaknya Daulah Khilafah Rasyidah Islamiyah. Secara logis dan teoretis, memang dapat dijustifikasi bahwa seluruh gagasan Hizbut Tahrir mengenai konsepsi Khilafah adalah sebuah utopia alias bagaikan mimpi di siang hari bolong. Kendati demikian, apabila gerak-gerik para pemimpi itu dibiarkan terus-menerus, maka bisa jadi hal yang sebelumnya mustahil menjadi sebuah keniscayaan. Jika kebijakan preventif tidak ditempuh, maka para pemimpi itu akan semakin mendapatkan angin segar untuk merealisasikan cita-cita mereka yang berbahaya bagi eksistensi NKRI yang ber-Pancasila.

Lantas, apakah segala aktivitas HTI menimbulkan benturan di kalangan masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban umum serta membahayakan keutuhan NKRI? Berdasarkan atas uraian yang telah penulis jabarkan di atas, sudah pasti jawabannya adalah YA! I answered with a big fat YES!. Kawan-kawan yang menjadi simpatisan HTI silakan membantahnya dengan berbagai argumentasi, akan tetapi berbagai data dan fakta yang terlihat di lapangan membuktikan bahwa ormas Islam transnasional yang dibentuk pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin Al-Nabhani di Yerusalem tersebut memang wajib dibubarkan di Indonesia.

Melalui penyusunan artikel ini, penulis berupaya menjabarkan tiga alasan yang melandasi pembubaran ormas HTI oleh pemerintah Republik Indonesia secara detail berdasarkan atas data yang ada dan fakta mengenai HTI yang terjadi selama ini, serta pengalaman pribadi penulis sendiri yang memang pernah berinteraksi dengan ustaz, dai, aktivis, dan kader HTI. Tulisan ini penulis susun dengan tujuan agar masyarakat memahami bahwa langkah yang ditempuh oleh pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Joko Widodo dalam membubarkan ormas HTI sudah tepat guna menjamin eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai yang berdasarkan atas Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selanjutnya, penulis secara pribadi berharap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menerapkan tindakan tegas terhadap siapa saja yang secara terang-terangan menyebarkan gagasan, ide, konsepsi, dan wacana yang anti-Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti-NKRI. Semoga Allah swt. senantiasa memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita serta selalu mencurahkan berkat, rahmat, dan karunia-Nya bagi bangsa dan negara Republik Indonesia yang kita cintai bersama.

#NKRIHargaMati
#SayaPancasila

~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S., M.Si..
Nasionalis-Sukarnois-Pancasilais-Marhaenis.

.