Tuesday, April 21, 2020

Kesenjangan Sosial dalam Dunia Pendidikan Kita di Tengah Wabah Covid-19

Pandemi wabah virus Corona Covid-19 yang tidak kunjung usai sejak pertama kali dikonfirmasi merambah Indonesia pada awal bulan Maret 2020 hingga kini memberikan dampak yang cukup serius terhadap nyaris hampir semua sektor kehidupan. Badai Covid-19 yang telah merenggut ratusan ribu nyawa manusia dengan ganas menghantam roda perekonomian, menghancurkan berbagai bisnis dan niaga, mengganggu aneka kegiatan sosial dan keagamaan, serta melumpuhkan dunia pendidikan kita. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pandemi wabah Covid-19 telah mengantarkan jutaan umat manusia ke gerbang malapetaka. Sedikit menerapkan teori probabilitas, sebagian dari kita – meskipun tetap berusaha menjaga sikap optimisme dengan keyakinan bahwa badai pasti akan berlalu –, tidak akan bisa menghindar dari adanya keresahan menatap masa depan yang tampaknya suram selama wabah Covid-19 belum bisa teratasi sepenuhnya.

Kita mulai resah memikirkan bagaimana kehidupan esok hari, lusa, pekan depan, bulan berikutnya, bahkan mungkin hingga tahun yang akan datang jika situasi yang abnormal tetapi terpaksa ‘dinormalkan’ saat ini tidak kunjung usai. Apa yang akan kita makan esok hari? Kapan bisnis dan niaga mulai bisa dilanjutkan kembali? Bagaimana nasib dunia pendidikan kita nanti? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa jadi akan lebih mendominasi alam pikir kita daripada amalan-amalan yang dianjurkan oleh para pakar medis, dokter, dan ahli kesehatan untuk dilakukan guna menangkal persebaran Covid-19.

Dalam kondisi yang dengan terpaksa harus dimaklumi ini, kita tidak perlu menyalahkan alam pikir kita sendiri. Kadangkala kita lebih memprioritaskan strategi bertahan hidup daripada upaya menjaga kesehatan dan mencegah penyakit menerjang tubuh kita. Tentu saja hal yang terbaik adalah menyeimbangkan keduanya, yakni terus berikhtiar menjaga daya tahan tubuh kita agar tetap sehat, sehingga kita dapat terus mempertahankan hidup yang hanya sekali walaupun badai virus menggoncang dunia.

Kala wabah Covid-19 melanda dunia, termasuk tanah air tercinta kita Indonesia, dunia pendidikan menjadi salah satu sektor kehidupan yang paling merasakan dampaknya. Mau tidak mau dan suka tidak suka, segala bentuk kegiatan belajar-mengajar alias KBM di seluruh sekolah dan kampus harus mengikuti arahan dari pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, yakni kebijakan “Belajar di Rumah” selama wabah Covid-19 berlangsung. Kegiatan belajar-mengajar yang lazimnya diselenggarakan di kelas dengan sistem tatap-muka, untuk sementara waktu harus dialihkan ke rumah masing-masing siswa dan guru. Guna menjamin agar pendidikan bagi para siswa tidak terhenti akibat Covid-19 yang masih merajalela, pemerintah mendorong dan menganjurkan sistem pembelajaran jarak jauh. Dewasa ini, sistem pembelajaran jarak jauh hanya diniscayakan secara daring.

Awalnya, kebijakan belajar di rumah diharapkan dapat membuat para siswa dan guru-gurunya tetap terkoneksi dari tempat tinggal masing-masing sembari melaksanakan kegiatan belajar-mengajar setiap hari sebagaimana yang biasa dilakukan di gedung sekolah. Hanya saja kegiatan belajar-mengajar kali ini diterapkan secara daring. Hipotesis ini sungguh baik jika dapat diimplementasikan di lapangan sesuai ekspektasi. Berbagai sekolah yang sarana, prasarana, infrastruktur, aksesibilitas, dan kualitas sumber daya manusianya sudah siap, tidak butuh waktu lama untuk menyambut dan mengaplikasikan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring.

Sekolah-sekolah yang sudah memiliki fasilitas teknologi informasi dan komunikasi yang lengkap serta didukung oleh kapabilitas para siswa dan guru dalam mengoperasikan komputer dan/atau ponsel pintar dengan koneksi internet yang handal dan stabil dari rumah masing-masing, dapat dengan mudah menyelenggarakan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring. Para siswa dan guru yang sudah akrab dan terbiasa dengan dunia komputer dan internet, baik di sekolah maupun tempat tinggal, tidak butuh adaptasi lagi untuk melanjutkan kegiatan belajar-mengajar secara daring. Mereka tidak membutuhkan pelatihan dan pembiasaan dari awal lagi untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring. Apalagi jika kita melihat beberapa sekolah yang sudah berkeunggulan teknologi di dalamnya, maka sistem pembelajaran jarak jauh secara daring bukanlah hal yang aneh lagi. Bahkan, bisa jadi kegiatan belajar-mengajar online adalah rutinitas yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah dengan keunggulan teknologi itu.

Penulis mendapati fenomena yang menunjukkan bahwa di sekolah-sekolah yang sudah berkeunggulan teknologi serta didukung oleh kesiapan para siswa dan guru, kegiatan belajar-mengajar secara daring dapat berlangsung dengan sangat baik, bahkan bisa menjadi menyenangkan. Sekolah-sekolah ini mewajibkan para siswa dan guru untuk ‘hadir’ secara online di rumah masing-masing sesuai jadwal kegiatan belajar-mengajar sebagaimana yang biasa dilakukan di kelas. Ada juga beberapa sekolah yang menyusun ulang jadwal kegiatan belajar-mengajar secara daring guna menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi para siswa dan guru. Dalam situasi yang kondusif dan suportif seperti itu, absensi kehadiran para siswa dan guru tetap berlaku dan dihitung. Mereka yang tidak ‘hadir’ akan tetap tercatat “Alpa” atau “Tidak Hadir” dalam absensi dan akan tetap mendapatkan ‘ganjaran’ yang disesuaikan dengan keadaan.

Kegiatan belajar-mengajar secara daring tersebut ditopang oleh kesiapan dan kemampuan para siswa dan guru dalam mengoperasikan alat-alat pendukung seperti komputer dan ponsel pintar, serta dukungan akses dan koneksi internet yang lancar. Para siswa dan guru juga tidak menemui kendala yang signifikan dalam kegiatan belajar-mengajar online dengan memanfaatkan aplikasi-aplikasi daring seperti Google Classroom dan Zoom. Selama koneksi internet tidak putus dan aliran listrik tidak mati (terutama sangat berpengaruh bagi mereka yang mengoperasikan komputer tanpa UPS atau uninterruptible power supply dan laptop tanpa baterai), sistem pembelajaran jarak jauh secara online menggunakan Google Classroom, Zoom, dan sejenisnya akan berlangsung dengan lancar. Ada pula beberapa guru yang memanfaatkan fitur video call group dengan anak-anak didiknya melalui aplikasi WhatsApp untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara teleconference pada waktu-waktu yang telah disepakati bersama.

Secara praktis dan realistis, para siswa dan guru yang lancar melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring dari rumah masing-masing biasanya adalah mereka yang kehidupan sehari-harinya sudah cukup baik, bahkan sebagian sangat baik. Dalam realita sosial-ekonomi yang terjadi, khususnya di tengah masyarakat kita, mereka yang berasal dari keluarga menengah atau menengah ke atas biasanya sudah memiliki sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang sistem pembelajaran jarak jauh secara online. Sebagian besar dari mereka sudah memiliki komputer, laptop, atau smartphone dengan spesifikasi yang memadai sebagai sarana pendukung kegiatan belajar-mengajar secara daring.

Lalu bagaimana dengan para guru dan siswa yang berasal dari keluarga yang kehidupan sehari-harinya biasa saja atau bahkan mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah? Mohon maaf, penulis hanya menyampaikan kenyataan kehidupan sehari-hari yang terjadi, bahwasanya tingkat kemampuan ekonomi seseorang ekuivalen dengan kapabilitas dan aksesibilitasnya terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi tulang punggung (backbone) dalam sistem pembelajaran jarak jauh. Realita sosial yang penulis temui di lapangan menunjukkan bahwa para guru dan siswa yang secara ekonomis hanya sanggup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan beberapa keperluan lainnya secara pas-pasan, rata-rata (berarti tidak seluruhnya) belum siap, atau bahkan tidak siap, dengan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring.

Banyak sekolah yang tingkat kemampuan ekonomi para guru dan siswanya rata-rata cenderung menengah ke bawah belum bisa (atau bahkan tidak bisa sama sekali) menerapkan kegiatan belajar-mengajar secara daring sebagaimana yang diharapkan. Sekolah-sekolah semacam ini tidak hanya dapat ditemui di kabupaten dan pedesaan, akan tetapi juga di perkotaan yang sesungguhnya infrastruktur, sarana, dan prasarana teknologi informasi dan komunikasinya lebih mumpuni. Kapabilitas dan aksesibilitas para guru dan siswa yang tingkat ekonominya pas-pasan, bahkan rendah, terhadap sarana dan prasarana pendukung sistem pembelajaran jarak jauh seperti komputer, laptop, ponsel pintar, dan akses internet yang handal masih terbatas. Alhasil, kegiatan belajar-mengajar secara daring tidak bisa maksimal dalam mencapai tujuan yang diekspektasikan.

Hambatan dan keluhan para guru dan siswa dari kelompok pas-pasan ini rata-rata tidak jauh berbeda. Mulai dari kekurangmahiran dalam mengoperasikan komputer beserta perangkat-perangkat lunak bawaannya, akses terhadap jaringan internet yang terbatas dikarenakan belum meratanya infrastruktur fiber optic dan sinyal yang terkadang timbul-tenggelam disebabkan jumlah BTS yang belum menjangkau seluruh pelosok daerah, hingga daya beli kuota data dan paket internet yang semakin lama semakin berkurang lantaran menguras dompet yang tanpa adanya wabah Covid-19 saja sudah tipis. Aneka kesukaran yang dihadapi tersebut sudah barang tentu memberikan implikasi yang signifikan terhadap kegiatan belajar-mengajar jarak jauh secara daring.

Bukan saja para siswa yang mengeluhkan rintangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar jarak jauh secara online, melainkan juga para guru yang merasakan hambatan yang sama. Pada praktiknya di lapangan, betapa banyak guru yang memberikan aneka ragam tugas melalui WhatsApp yang harus segera dikerjakan oleh para siswa di rumah masing-masing. Tidak jarang pula ditemui guru-guru yang mewajibkan siswa-siswinya menulis jawaban dari tugas-tugas yang diberikan berupa uji kompetensi dari LKS (lembar kerja siswa) atau latihan soal di buku tulis. Para siswa lalu diminta mengambil foto hasil tugasnya di buku tulis menggunakan kamera ponsel sebagai bukti otentik, kemudian mengirimkannya ke nomor WhatsApp guru mata pelajaran terkait untuk dikoreksi dan diberikan nilai.

Menurut hemat penulis, pola pemberian dan penyerahan tugas secara daring dengan metode seperti itu cenderung tidak praktis dan tidak efisien, baik bagi para guru maupun para siswa. Pemberian tugas melalui WhatsApp yang harus dikerjakan di buku LKS atau buku tulis secara berkala dan kontinu tanpa henti selama pelaksanaan kebijakan “Belajar di Rumah” setiap pekan, bahkan setiap hari, justru malah menambah beban yang berlebihan bagi para siswa. Alih-alih mengarahkan para siswa untuk tetap belajar di rumah selama masa pandemi wabah Covid-19, metode pemberian tugas semacam itu justru akan kontraproduktif terhadap tujuan kebijakan “Belajar di Rumah”. Alhasil, bukan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring dengan pola komunikasi dua arah yang berlangsung, melainkan pemberian tugas dan pekerjaan rumah oleh para guru kepada siswa-siswinya melalui media sosial secara online dengan pola komunikasi satu arah yang terjadi.

Ekspektasi dan tujuan kebijakan “Belajar di Rumah” pada awalnya hendak mengalihkan kegiatan belajar-mengajar yang biasanya diselenggarakan secara offline (tatap muka langsung) di kelas ke rumah masing-masing siswa dan guru secara online dan temporer-situasional selama masa pandemi wabah Covid-19. Sayangnya, metode pemberian tugas dan pekerjaan rumah yang menurut penulis cukup kaku sebagaimana yang diuraikan dalam paragraf sebelumnya pada akhirnya membuat ekspektasi dan tujuan kebijakan “Belajar di Rumah” menjadi tidak maksimal. Realitanya, bukan kegiatan belajar-mengajar secara online yang terjadi, melainkan libur sekolah panjang bagi para siswa dengan setumpuk tugas dan pekerjaan rumah yang datang bertubi-tubi setiap hari dan harus diselesaikan untuk kemudian diserahkan kepada guru mata pelajaran masing-masing agar mendapatkan nilai. Imbasnya, para siswa akhirnya merasa bosan, jenuh, dan stres.

Sungguh sangat disayangkan, mengingat dalam masa pandemi wabah Covid-19 seperti sekarang ini, hendaknya setiap orang menjauhkan diri masing-masing dari hal-hal yang dapat mengakibatkan beban psikologis seperti kebosanan, kejenuhan, dan stres. Sesungguhnya bukan hanya deretan tugas dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para siswa selama masa darurat bencana nasional ini, melainkan pendidikan dan pemahaman yang komprehensif kepada mereka mengenai wabah Covid-19 beserta segala seluk-beluknya.

Menurut penulis, kegiatan belajar-mengajar secara daring tidak mesti melaksanakan jadwal harian yang biasa diselenggarakan di sekolah sepenuhnya. Kebijakan “Belajar di Rumah” secara kreatif sebenarnya dapat disisipi oleh para guru untuk mendidik dan mengajarkan siswa-siswinya segala hal tentang wabah Covid-19. Para guru dapat memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap siswa-siswinya mulai dari sejarah kemunculan Covid-19 dan karakteristiknya, serta aneka protokol kesehatan yang sebaiknya dilakukan guna mencegah virus tersebut menginfeksi kita semua. Secara kontinu, para guru dapat terus mengingatkan siswa-siswinya untuk senantiasa mematuhi protokol kesehatan guna menangkis potensi tertular Covid-19. Para guru dapat membiasakan siswa-siswinya agar tetap berada di rumah, memakai masker apabila terpaksa keluar rumah, rajin mencuci tangan dengan sabun selama minimal duapuluh detik setiap pulang ke rumah, menjauhi kerumunan massa, dan konsisten menjaga jarak dari orang lain.

Melalui kreativitas seperti itu, kebijakan “Belajar di Rumah” tidak lagi sekedar merelokasi kegiatan belajar-mengajar dari gedung sekolah ke rumah masing-masing dengan rutinitas mata pelajaran yang sama persis, akan tetapi mampu membuat siswa-siswi lebih mengenal, memahami, dan mencegah potensi terinfeksi Covid-19. Kebijakan “Belajar di Rumah” seyogyanya dapat menjadi wahana pelaksanaan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring yang menyenangkan dengan segudang manfaat yang positif dan menyehatkan bagi para siswa. Jauh dari kesan membosankan, menjenuhkan, atau bahkan menambah beban psikologis yang berujung stres. Kendati demikian, kreativitas para guru dan aksesibilitas siswa-siswinya dalam proses pembelajaran jarak jauh secara daring tetap bertumpu pada kelengkapan dan kesiapan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang tersedia, terutama dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi.

Guru-guru yang kreatif dan antusiasme siswa-siswi dalam kegiatan belajar-mengajar secara daring selama masa pandemi wabah Covid-19 tidak akan dapat dilaksanakan seutuhnya tanpa dukungan sarana, prasarana, dan infrastruktur yang memadai. Menurut hemat penulis, peran aktif dan tindakan konkret pemerintah beserta kolaborasinya dengan pihak swasta dalam hal penyediaan sarana, prasarana, dan infrastruktur penunjang kebijakan “Belajar di Rumah” sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita saat ini. Eksistensi sarana, prasarana, dan infrastruktur yang memadai serta merata mutlak diperlukan, terutama sekali oleh para guru dan siswa-siswi yang kehidupan sehari-harinya ‘biasa-biasa saja’, baik di perkotaan maupun di kabupaten.

Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan, khususnya oleh pemerintah, adalah membagikan kuota besar dalam jumlah banyak secara gratis kepada masyarakat guna menunjang kebijakan “Belajar di Rumah” yang mau tidak mau harus bergantung kepada akses internet. Kalaupun tidak dapat digratiskan, setidaknya pasti ada upaya lain yang bisa dilakukan untuk menekan harga beli kuota internet seminimal mungkin. Gratis atau murahnya biaya kuota sudah barang tentu akan berimplikasi terhadap kelancaran sistem pembelajaran jarak jauh secara daring, karena akan memudahkan para guru dan siswa-siswinya untuk semakin intensif berkomunikasi melalui platform media sosial tanpa menambah beban ekonomi mereka.

Selain menggratiskan atau setidaknya menekan biaya kuota semurah mungkin, ke depannya apabila pandemi wabah Covid-19 sudah mulai berakhir, pemerintah dan pihak swasta seharusnya semakin menggalakkan pembangunan infrastruktur telekomunikasi secara masif. Pemerataan jaringan telekomunikasi, khususnya internet, secara signifikan mutlak diperlukan dengan atau tanpa adanya wabah Covid-19. Menyongsong era Revolusi Industri 4.0 serta sebagai persiapan menghadapi kemungkinan buruk akan adanya wabah virus lain di masa depan, jaringan internet sudah seharusnya merata di seluruh pelosok Ibu Pertiwi dan dapat dinikmati oleh semua warga negeri ini tanpa demarkasi ekonomi serta teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, apabila suatu saat nanti kebijakan “Belajar di Rumah” harus kembali diterapkan oleh pemerintah, semua guru dan siswa di Indonesia dapat melaksanakannya secara maksimal, sehingga tujuan yang diekspektasikan pun bisa diraih. Sudah saatnya kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan kita dihilangkan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia yang sangat kita cintai ini.

Negara yang maju adalah negara yang rakyatnya sehat, baik jasmani maupun rohani. Salah satu indikator kemajuan suatu bangsa dapat dilihat melalui indeks kesehatan negara tersebut. Kesehatan para guru dan siswa sangat mempengaruhi dunia pendidikan bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa menjaga kesehatan tubuh dengan rutin menjaga pola makan empat sehat lima sempurna, rajin berolahraga secara teratur, tetap berada di rumah, selalu mencuci tangan dengan sabun selama minimal duapuluh detik setiap kali pulang ke rumah, menghindari kerumuman massa di luar rumah, dan konsisten menerapkan physical distancing alias menjaga jarak dari orang lain di tempat-tempat publik.

Semoga wabah Covid-19 segera berakhir dan kita dapat kembali melakukan segala aktivitas serta rutinitas kehidupan sehari-hari dengan normal sebagaimana biasanya. Semoga Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi bangsa dan negara Indonesia beserta seluruh rakyatnya. Amin.

Penulis: Indra Setyo Rahadhi, S.S., M.Si..
Guru SMP Islam Swasta serta Pengamat Dunia Pendidikan dan Politik.