Dalam tulisan ini, aku akan membagikan artikel karya Sdr. Eko Budihardjo
selaku Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia dan
Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah yang
berjudul "Bung Karno - Arsitek dan Seniman". Artikel beliau dimuat ulang dalam situs resmi PDI Perjuangan dan sebelumnya telah dimuat pula dalam Harian Kompas tertanggal 1 Juni 2001.
Menurut
aku, artikel ini sangat penting untuk dipublikasikan secara luas kepada
khalayak umum agar semakin banyak orang yang mengetahui dan mengenal
sosok Bung Karno dalam perspektif yang luas. Bung Karno tidak hanya
berperan besar sebagai Proklamator Kemerdekaan, Presiden Pertama,
Pemimpin Besar Revolusi, dan bahkan Bapak Bangsa Indonesia, akan tetapi
'Putra Sang Fajar' juga telah terbukti kelasnya sebagai seorang
negarawan yang sangat ahli di bidang arsitektur dan kesenian.
Berikut ini artikel karya Sdr. Eko Budihardjo yang aku ketik ulang dengan beberapa sedikit suntingan langsung dari sumber resmi-nya. Selamat membaca dan semoga semakin menumbuhkembangkan jiwa nasionalisme kita.
------------------------------------------------------------
Pendidikan
kesarjanaan Bung Karno sebetulnya adalah Teknik Sipil, yang diraihnya
di Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, perhatiannya terhadap dunia
perancangan arsitektur sungguh luar biasa. Pandangannya sangat jauh ke
depan, lebih jauh ketimbang tokoh-tokoh lain pada zamannya. Banyak
sekali karya arsitektur di Jakarta yang sekarang menjadi kebanggaan
bangsa, sebagai 'tetenger' atau landmark, yang bersumber dari
gagasan-gagasannya yang brilian. Memang, bukan Bung Karno sendiri secara
pribadi yang merancang, tetapi cetusan idenya yang original dan otentik
itulah yang menjadi jiwa atau semangat dari karya-karya arsitektur yang
bermunculan. Siapa yang tidak kenal dan tidak kagum dengan Monas atau
Monumen Nasional yang sudah menjadi trademark dan landmark-nya
Jakarta, bahkan bisa disebut sebagai 'tetenger'-nya Indonesia? Mirip
seperti Menara Eiffel-nya Kota Paris (Prancis), Patung Liberty-nya New
York City (Amerika Serikat), atau Open House-nya Sydney (Australia).
Sampai
saat ini, Monas dan lingkungan atau ruang terbuka di sekitarnya masih
juga terlihat sebagai kawasan yang amat bermartabat dan menumbuhkan rasa
bangga sebagai warga (civic pride). Sebagai suatu ruang publik
yang dapat dinikmati oleh segenap warga kota maupun pendatang, Monas
menyiratkan suasana demokrasi dan keterbukaan. Monas dengan Lapangan
Merdeka-nya yang luas dapat disebut sebagai 'oase', bahkan mungkin malah
'surga'-nya kota, mengacu pada pendapat salah seorang pakar bahwa "park is urban paradise".
Bung Karno - Arsitek dan Seniman
Sepanjang
pengetahuan saya, Bung Karno adalah seorang insinyur sipil yang
memiliki jiwa arsitek dan seni budaya dengan kadar yang tinggi. Bahkan
bisa dikatakan lebih arsitek ketimbang arsitek yang sesungguhnya. Sangat
jarang pimpinan negara yang memiliki perhatian besar pada dunia
arsitektur. Boleh saja George Pompidou dari Prancis bangga dengan
Pompidou Center-nya di Kota Paris, yang dikenal sebagai salah satu karya
arsitektur berciri Post-Modern.
Namun,
ditilik dari keberagaman karya yang digagas oleh Bung Karno, tampak
jelas bahwa Bung Karno jauh lebih unggul sebagai negarawan yang juga
arsitek dan seniman sekaligus. Bukan hanya karya arsitektur yang berupa
gedung-gedung atau monumen-monumen saja yang menjadi bidang gulat dan
perhatiannya. Patung-patung, taman-taman, kawasan, bahkan sampai skala
kota pun digagas dan direalisasikan oleh Bung Karno.
Patung
Pembebasan Irian Barat, Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel
Indonesia, Patung Pancoran, Patung Pak Tani di Menteng, dan lain-lain,
semua itu dibangun pada zaman Presiden Soekarno. Dari kacamata
perkotaan, kehadiran patung-patung yang beraneka ragam itu betul-betul
menyiratkan keindahan kota sebagai suatu karya seni sosial (a social work of art). Bisa menjadi titik referensi agar kita tahu sedang ada di mana, supaya tidak kehilangan arah.
Taman
Merdeka di seputar Monas dan kawasan pusat olahraga dengan ruang
terbuka yang begitu luas di Senayan merupakan warisan Bung Karno yang
layak kita syukuri bersama. Dalam skala yang lebih makro, sebagai
seorang presiden yang berwawasan nasional dan tidak berpikir sempit,
Bung Karno pernah memikirkan kemungkinan memindahkan ibukota negara kita
dari Jakarta ke luar Jawa. Kalau tidak salah, lokasi Palangkaraya di
Kalimantan Tengah yang dipilih sebagai salah satu alternatif dan
kemudian mulai dirancang serta terus dibangun. Sayang sekali, karena
berbagai kendala gagasan terobosan yang inovatif itu tidak terlaksana.
Kendati begitu, toh Kota Palangkaraya ternyata berkembang dengan baik
sampai sekarang.
Bung Karno Senang Sayembara
Yang
tidak kalah menarik dari Bung Karno dalam kiprahnya sebagai seorang
arsitek adalah bahwa beliau sangat senang dengan karya-karya unggulan
yang dihasilkan melalui sayembara. Monas yang terbangun sekarang pun
semula adalah hasil karya sayembara. Menurut tokoh arsitek senior Prof.
Dr. Ir. Sidharta, pemenang pertamanya dulu tidak ada, pemenang kedua
adalah arsitek Frederich Silaban (sudah wafat), dan pemenang ketiga
adalah tim mahasiswa dari ITB. Rancangan yang memenangkan sayembara
tersebut kemudian dikolaborasi oleh tim arsitek Istana (kalau tidak
salah di bawah pimpinan Soedarsono) dengan beberapa perubahan, sehingga
terbangun seperti yang tampak sekarang ini.
Prinsip
bahwa karya terbaiklah yang dipilih dan disetujui untuk dibangun,
antara lain melalui proses sayembara, merupakan suatu prinsip yang
dewasa ini banyak ditinggalkan oleh para pejabat. Tidak heran bila yang
banyak bermunculan di kota-kota besar di Indonesia adalah
bangunan-bangunan yang termasuk kategori junk architecture atau
arsitektur sampah. Orang-orang itu lupa bahwa kaidah paling dasar dari
suatu karya arsitektur masih tetap saja seperti yang dicanangkan
Vitruvius ratusan tahun yang silam, yaitu utilitas (fungsi dan
kegunaan), firmitas (konstruksi atau kekokohan), dan venustas (estetika
atau keindahan). Nah, aspek terakhir yang menyangkut estetika atau
keindahan itulah yang tak pernah dilupakan oleh Bung Karno.
Begitu
pula ketika muncul gagasan Bung Karno untuk menyelenggarakan Conference
of the New Emerging Forces atau CONEFO (Konferensi Para Kekuatan Baru
Dunia), lantas dirancang gedung pertemuan yang sekarang menjadi Gedung
MPR-DPR, dengan perancang dan pembangun antara lain Ir. Soetami, Ir.
Soejoedi, dan Ir. Noerpontjo.
Dari
kisah-kisah tersebut terlihat sekali bahwa gagasan dan pemikiran Bung
Karno sejak dulu sudah mengglobal. Globalisasi baginya bukan sekedar
slogan kosong, melainkan sudah diaktualisasikan dalam kiprahnya
sehari-hari.
Bung Karno Tidak Berpikir Sempit
Mengenai
perencanaan atau arsitek yang dipilihnya, asal memang kompeten, tak
peduli dari mana asalnya atau apa agamanya, selalu ada peluang dipilih
oleh Bung Karno untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya dalam wujud
nyata. Manakala Friedrich Silaban terpilih untuk merancang Gedung Pola,
barangkali bukanlah berita. Akan tetapi, kalau Silaban yang sama -
notabene seorang Kristen - terpilih untuk merancang Masjid Istiqlal
kebanggaan kita semua, bukankah itu merupakan berita yang mestinya
mengejutkan?
Gedung
Hotel Indonesia sebagai gedung jangkung pertama di Kota Jakarta, saya
dengar dirancang oleh Sorensen, seorang arsitek Swedia. Patung Tani di
Menteng juga bukan karya seorang pribumi, melainkan karya pematung
mancanegara. Artinya, Bung Karno bukanlah tokoh yang primordial atau
chauvinistik yang berpikiran sempit, melainkan sebaliknya. Yang tidak
kalah membanggakan adalah bahwa pemikiran dan gagasannya pun dipakai
juga di mancanegara.
Ketika
saya menunaikan ibadah haji pada tahun 1996, saya memperoleh informasi
bahwa bangunan dua lantai tempat para jamaah haji melakukan sa'i
(berjalan dan berlari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwa
bolak-balik) ternyata dibangun atas saran Bung Karno. Semula bangunannya
tidak bertingkat. Begitu jamaahnya setiap tahun bertambah, semakin
berjubel padat, akibatnya sangat menyulitkan dan menyengsarakan bagi
para jamaah. Usulan Bung Karno sebagai seorang insinyur sipil sungguh
sangat tepat untuk mengatasi kesumpekan itu.
Dalam
suasana hiruk-pikuk perpolitikan yang penuh dengan manuver-manuver
pertarungan kekuasaan yang amat keji dan mencekam seperti yang kita
lihat dan kita rasakan akhir-akhir ini, sungguh amat kita rindukan tokoh
negarawan seperti Bung Karno, pemimpin negara yang tidak hanya tinggi
kadar nasionalismenya, tetapi juga memiliki jiwa sebagai arsitek dan
seniman yang berbudaya, serta menciptakan karya-karya nyata yang
bermanfaat bagi bangsa.
* Eko Budihardjo - Ketua Dewan Pembina Persatuan Sarjana Arsitektur Indonesia dan Ketua Kehormatan Ikatan Arsitek Indonesia Cabang Jawa Tengah.
Sumber: Kompas, 1 Juni 2001.
------------------------------------------------------------
~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S..
Bung Karno memang seorang pemimpin yang multitalenta ...
ReplyDeleteSepertinya jarang ada pemimpin yang berbakat dalam banyak hal seperti Bung Karno.
ReplyDeleteMari kita melihat sisi lain Bung Karno yang tidak hanya kapabel sebagai seorang pemimpin negara yang agung, tetapi juga sangat luar biasa di bidang arsitektur, teknik sipil, dan kesenian. :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete