Pandemi wabah virus Corona Covid-19 yang tidak kunjung usai
sejak pertama kali dikonfirmasi merambah Indonesia pada awal bulan Maret 2020
hingga kini memberikan dampak yang cukup serius terhadap nyaris hampir semua
sektor kehidupan. Badai Covid-19 yang telah merenggut ratusan ribu nyawa
manusia dengan ganas menghantam roda perekonomian, menghancurkan berbagai
bisnis dan niaga, mengganggu aneka kegiatan sosial dan keagamaan, serta
melumpuhkan dunia pendidikan kita. Tidak dapat disangkal lagi bahwa pandemi
wabah Covid-19 telah mengantarkan jutaan umat manusia ke gerbang malapetaka.
Sedikit menerapkan teori probabilitas, sebagian dari kita – meskipun tetap
berusaha menjaga sikap optimisme dengan keyakinan bahwa badai pasti akan
berlalu –, tidak akan bisa menghindar dari adanya keresahan menatap masa depan
yang tampaknya suram selama wabah Covid-19 belum bisa teratasi sepenuhnya.
Kita mulai resah memikirkan bagaimana kehidupan esok hari,
lusa, pekan depan, bulan berikutnya, bahkan mungkin hingga tahun yang akan
datang jika situasi yang abnormal tetapi terpaksa ‘dinormalkan’ saat ini tidak
kunjung usai. Apa yang akan kita makan esok hari? Kapan bisnis dan niaga mulai
bisa dilanjutkan kembali? Bagaimana nasib dunia pendidikan kita nanti?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa jadi akan lebih mendominasi alam pikir
kita daripada amalan-amalan yang dianjurkan oleh para pakar medis, dokter, dan
ahli kesehatan untuk dilakukan guna menangkal persebaran Covid-19.
Dalam kondisi yang dengan terpaksa harus dimaklumi ini, kita
tidak perlu menyalahkan alam pikir kita sendiri. Kadangkala kita lebih
memprioritaskan strategi bertahan hidup daripada upaya menjaga kesehatan dan
mencegah penyakit menerjang tubuh kita. Tentu saja hal yang terbaik adalah
menyeimbangkan keduanya, yakni terus berikhtiar menjaga daya tahan tubuh kita
agar tetap sehat, sehingga kita dapat terus mempertahankan hidup yang hanya
sekali walaupun badai virus menggoncang dunia.
Kala wabah Covid-19 melanda dunia, termasuk tanah air
tercinta kita Indonesia, dunia pendidikan menjadi salah satu sektor kehidupan
yang paling merasakan dampaknya. Mau tidak mau dan suka tidak suka, segala
bentuk kegiatan belajar-mengajar alias KBM di seluruh sekolah dan kampus harus
mengikuti arahan dari pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI, yakni kebijakan “Belajar di Rumah” selama wabah
Covid-19 berlangsung. Kegiatan belajar-mengajar yang lazimnya diselenggarakan
di kelas dengan sistem tatap-muka, untuk sementara waktu harus dialihkan ke
rumah masing-masing siswa dan guru. Guna menjamin agar pendidikan bagi para
siswa tidak terhenti akibat Covid-19 yang masih merajalela, pemerintah
mendorong dan menganjurkan sistem pembelajaran jarak jauh. Dewasa ini, sistem
pembelajaran jarak jauh hanya diniscayakan secara daring.
Awalnya, kebijakan belajar di rumah diharapkan dapat membuat
para siswa dan guru-gurunya tetap terkoneksi dari tempat tinggal masing-masing
sembari melaksanakan kegiatan belajar-mengajar setiap hari sebagaimana yang
biasa dilakukan di gedung sekolah. Hanya saja kegiatan belajar-mengajar kali ini
diterapkan secara daring. Hipotesis ini sungguh baik jika dapat
diimplementasikan di lapangan sesuai ekspektasi. Berbagai sekolah yang sarana,
prasarana, infrastruktur, aksesibilitas, dan kualitas sumber daya manusianya
sudah siap, tidak butuh waktu lama untuk menyambut dan mengaplikasikan sistem
pembelajaran jarak jauh secara daring.
Sekolah-sekolah yang sudah memiliki fasilitas teknologi
informasi dan komunikasi yang lengkap serta didukung oleh kapabilitas para
siswa dan guru dalam mengoperasikan komputer dan/atau ponsel pintar dengan
koneksi internet yang handal dan stabil dari rumah masing-masing, dapat dengan
mudah menyelenggarakan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring. Para siswa
dan guru yang sudah akrab dan terbiasa dengan dunia komputer dan internet, baik
di sekolah maupun tempat tinggal, tidak butuh adaptasi lagi untuk melanjutkan
kegiatan belajar-mengajar secara daring. Mereka tidak membutuhkan pelatihan dan
pembiasaan dari awal lagi untuk melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring.
Apalagi jika kita melihat beberapa sekolah yang sudah berkeunggulan teknologi
di dalamnya, maka sistem pembelajaran jarak jauh secara daring bukanlah hal
yang aneh lagi. Bahkan, bisa jadi kegiatan belajar-mengajar online
adalah rutinitas yang biasa dilakukan di sekolah-sekolah dengan keunggulan
teknologi itu.
Penulis mendapati fenomena yang menunjukkan bahwa di
sekolah-sekolah yang sudah berkeunggulan teknologi serta didukung oleh kesiapan
para siswa dan guru, kegiatan belajar-mengajar secara daring dapat berlangsung
dengan sangat baik, bahkan bisa menjadi menyenangkan. Sekolah-sekolah ini
mewajibkan para siswa dan guru untuk ‘hadir’ secara online di rumah
masing-masing sesuai jadwal kegiatan belajar-mengajar sebagaimana yang biasa
dilakukan di kelas. Ada juga beberapa sekolah yang menyusun ulang jadwal
kegiatan belajar-mengajar secara daring guna menyesuaikan diri dengan kondisi
dan situasi para siswa dan guru. Dalam situasi yang kondusif dan suportif
seperti itu, absensi kehadiran para siswa dan guru tetap berlaku dan dihitung.
Mereka yang tidak ‘hadir’ akan tetap tercatat “Alpa” atau “Tidak Hadir” dalam
absensi dan akan tetap mendapatkan ‘ganjaran’ yang disesuaikan dengan keadaan.
Kegiatan belajar-mengajar secara daring tersebut ditopang
oleh kesiapan dan kemampuan para siswa dan guru dalam mengoperasikan alat-alat
pendukung seperti komputer dan ponsel pintar, serta dukungan akses dan koneksi
internet yang lancar. Para siswa dan guru juga tidak menemui kendala yang
signifikan dalam kegiatan belajar-mengajar online dengan memanfaatkan
aplikasi-aplikasi daring seperti Google Classroom dan Zoom. Selama koneksi
internet tidak putus dan aliran listrik tidak mati (terutama sangat berpengaruh
bagi mereka yang mengoperasikan komputer tanpa UPS atau uninterruptible
power supply dan laptop tanpa baterai), sistem pembelajaran jarak jauh
secara online menggunakan Google Classroom, Zoom, dan sejenisnya akan
berlangsung dengan lancar. Ada pula beberapa guru yang memanfaatkan fitur video
call group dengan anak-anak didiknya melalui aplikasi WhatsApp untuk
melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara teleconference pada
waktu-waktu yang telah disepakati bersama.
Secara praktis dan realistis, para siswa dan guru yang
lancar melaksanakan kegiatan belajar-mengajar secara daring dari rumah
masing-masing biasanya adalah mereka yang kehidupan sehari-harinya sudah cukup
baik, bahkan sebagian sangat baik. Dalam realita sosial-ekonomi yang terjadi,
khususnya di tengah masyarakat kita, mereka yang berasal dari keluarga menengah
atau menengah ke atas biasanya sudah memiliki sarana dan prasarana yang memadai
guna menunjang sistem pembelajaran jarak jauh secara online. Sebagian
besar dari mereka sudah memiliki komputer, laptop, atau smartphone
dengan spesifikasi yang memadai sebagai sarana pendukung kegiatan
belajar-mengajar secara daring.
Lalu bagaimana dengan para guru dan siswa yang berasal dari
keluarga yang kehidupan sehari-harinya biasa saja atau bahkan mereka yang
berasal dari kelas menengah ke bawah? Mohon maaf, penulis hanya menyampaikan
kenyataan kehidupan sehari-hari yang terjadi, bahwasanya tingkat kemampuan
ekonomi seseorang ekuivalen dengan kapabilitas dan aksesibilitasnya terhadap
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi tulang punggung (backbone)
dalam sistem pembelajaran jarak jauh. Realita sosial yang penulis temui di
lapangan menunjukkan bahwa para guru dan siswa yang secara ekonomis hanya
sanggup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari dan beberapa keperluan
lainnya secara pas-pasan, rata-rata (berarti tidak seluruhnya) belum siap, atau
bahkan tidak siap, dengan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring.
Banyak sekolah yang tingkat kemampuan ekonomi para guru dan
siswanya rata-rata cenderung menengah ke bawah belum bisa (atau bahkan tidak
bisa sama sekali) menerapkan kegiatan belajar-mengajar secara daring
sebagaimana yang diharapkan. Sekolah-sekolah semacam ini tidak hanya dapat
ditemui di kabupaten dan pedesaan, akan tetapi juga di perkotaan yang
sesungguhnya infrastruktur, sarana, dan prasarana teknologi informasi dan
komunikasinya lebih mumpuni. Kapabilitas dan aksesibilitas para guru dan siswa
yang tingkat ekonominya pas-pasan, bahkan rendah, terhadap sarana dan prasarana
pendukung sistem pembelajaran jarak jauh seperti komputer, laptop, ponsel
pintar, dan akses internet yang handal masih terbatas. Alhasil, kegiatan
belajar-mengajar secara daring tidak bisa maksimal dalam mencapai tujuan yang
diekspektasikan.
Hambatan dan keluhan para guru dan siswa dari kelompok
pas-pasan ini rata-rata tidak jauh berbeda. Mulai dari kekurangmahiran dalam
mengoperasikan komputer beserta perangkat-perangkat lunak bawaannya, akses
terhadap jaringan internet yang terbatas dikarenakan belum meratanya
infrastruktur fiber optic dan sinyal yang terkadang timbul-tenggelam
disebabkan jumlah BTS yang belum menjangkau seluruh pelosok daerah, hingga daya
beli kuota data dan paket internet yang semakin lama semakin berkurang lantaran
menguras dompet yang tanpa adanya wabah Covid-19 saja sudah tipis. Aneka
kesukaran yang dihadapi tersebut sudah barang tentu memberikan implikasi yang
signifikan terhadap kegiatan belajar-mengajar jarak jauh secara daring.
Bukan saja para siswa yang mengeluhkan rintangan yang harus
dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar jarak jauh secara online,
melainkan juga para guru yang merasakan hambatan yang sama. Pada praktiknya di
lapangan, betapa banyak guru yang memberikan aneka ragam tugas melalui WhatsApp
yang harus segera dikerjakan oleh para siswa di rumah masing-masing. Tidak
jarang pula ditemui guru-guru yang mewajibkan siswa-siswinya menulis jawaban
dari tugas-tugas yang diberikan berupa uji kompetensi dari LKS (lembar kerja
siswa) atau latihan soal di buku tulis. Para siswa lalu diminta mengambil foto
hasil tugasnya di buku tulis menggunakan kamera ponsel sebagai bukti otentik, kemudian
mengirimkannya ke nomor WhatsApp guru mata pelajaran terkait untuk dikoreksi
dan diberikan nilai.
Menurut hemat penulis, pola pemberian dan penyerahan tugas
secara daring dengan metode seperti itu cenderung tidak praktis dan tidak
efisien, baik bagi para guru maupun para siswa. Pemberian tugas melalui
WhatsApp yang harus dikerjakan di buku LKS atau buku tulis secara berkala dan
kontinu tanpa henti selama pelaksanaan kebijakan “Belajar di Rumah” setiap
pekan, bahkan setiap hari, justru malah menambah beban yang berlebihan bagi
para siswa. Alih-alih mengarahkan para siswa untuk tetap belajar di rumah selama
masa pandemi wabah Covid-19, metode pemberian tugas semacam itu justru akan
kontraproduktif terhadap tujuan kebijakan “Belajar di Rumah”. Alhasil, bukan
sistem pembelajaran jarak jauh secara daring dengan pola komunikasi dua arah
yang berlangsung, melainkan pemberian tugas dan pekerjaan rumah oleh para guru
kepada siswa-siswinya melalui media sosial secara online dengan pola
komunikasi satu arah yang terjadi.
Ekspektasi dan tujuan kebijakan “Belajar di Rumah” pada
awalnya hendak mengalihkan kegiatan belajar-mengajar yang biasanya
diselenggarakan secara offline (tatap muka langsung) di kelas ke rumah
masing-masing siswa dan guru secara online dan temporer-situasional
selama masa pandemi wabah Covid-19. Sayangnya, metode pemberian tugas dan
pekerjaan rumah yang menurut penulis cukup kaku sebagaimana yang diuraikan
dalam paragraf sebelumnya pada akhirnya membuat ekspektasi dan tujuan kebijakan
“Belajar di Rumah” menjadi tidak maksimal. Realitanya, bukan kegiatan
belajar-mengajar secara online yang terjadi, melainkan libur sekolah
panjang bagi para siswa dengan setumpuk tugas dan pekerjaan rumah yang datang
bertubi-tubi setiap hari dan harus diselesaikan untuk kemudian diserahkan
kepada guru mata pelajaran masing-masing agar mendapatkan nilai. Imbasnya, para
siswa akhirnya merasa bosan, jenuh, dan stres.
Sungguh sangat disayangkan, mengingat dalam masa pandemi
wabah Covid-19 seperti sekarang ini, hendaknya setiap orang menjauhkan diri
masing-masing dari hal-hal yang dapat mengakibatkan beban psikologis seperti
kebosanan, kejenuhan, dan stres. Sesungguhnya bukan hanya deretan tugas dan
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan para siswa selama masa darurat bencana
nasional ini, melainkan pendidikan dan pemahaman yang komprehensif kepada
mereka mengenai wabah Covid-19 beserta segala seluk-beluknya.
Menurut penulis, kegiatan belajar-mengajar secara daring
tidak mesti melaksanakan jadwal harian yang biasa diselenggarakan di sekolah
sepenuhnya. Kebijakan “Belajar di Rumah” secara kreatif sebenarnya dapat
disisipi oleh para guru untuk mendidik dan mengajarkan siswa-siswinya segala
hal tentang wabah Covid-19. Para guru dapat memberikan pemahaman yang
komprehensif terhadap siswa-siswinya mulai dari sejarah kemunculan Covid-19 dan
karakteristiknya, serta aneka protokol kesehatan yang sebaiknya dilakukan guna
mencegah virus tersebut menginfeksi kita semua. Secara kontinu, para guru dapat
terus mengingatkan siswa-siswinya untuk senantiasa mematuhi protokol kesehatan
guna menangkis potensi tertular Covid-19. Para guru dapat membiasakan
siswa-siswinya agar tetap berada di rumah, memakai masker apabila terpaksa
keluar rumah, rajin mencuci tangan dengan sabun selama minimal duapuluh detik
setiap pulang ke rumah, menjauhi kerumunan massa, dan konsisten menjaga jarak
dari orang lain.
Melalui kreativitas seperti itu, kebijakan “Belajar di
Rumah” tidak lagi sekedar merelokasi kegiatan belajar-mengajar dari gedung
sekolah ke rumah masing-masing dengan rutinitas mata pelajaran yang sama
persis, akan tetapi mampu membuat siswa-siswi lebih mengenal, memahami, dan
mencegah potensi terinfeksi Covid-19. Kebijakan “Belajar di Rumah” seyogyanya
dapat menjadi wahana pelaksanaan sistem pembelajaran jarak jauh secara daring
yang menyenangkan dengan segudang manfaat yang positif dan menyehatkan bagi
para siswa. Jauh dari kesan membosankan, menjenuhkan, atau bahkan menambah
beban psikologis yang berujung stres. Kendati demikian, kreativitas para guru
dan aksesibilitas siswa-siswinya dalam proses pembelajaran jarak jauh secara
daring tetap bertumpu pada kelengkapan dan kesiapan sarana, prasarana, dan
infrastruktur yang tersedia, terutama dalam bidang teknologi informasi dan
komunikasi.
Guru-guru yang kreatif dan antusiasme siswa-siswi dalam
kegiatan belajar-mengajar secara daring selama masa pandemi wabah Covid-19
tidak akan dapat dilaksanakan seutuhnya tanpa dukungan sarana, prasarana, dan
infrastruktur yang memadai. Menurut hemat penulis, peran aktif dan tindakan
konkret pemerintah beserta kolaborasinya dengan pihak swasta dalam hal
penyediaan sarana, prasarana, dan infrastruktur penunjang kebijakan “Belajar di
Rumah” sangat dibutuhkan oleh dunia pendidikan kita saat ini. Eksistensi
sarana, prasarana, dan infrastruktur yang memadai serta merata mutlak
diperlukan, terutama sekali oleh para guru dan siswa-siswi yang kehidupan
sehari-harinya ‘biasa-biasa saja’, baik di perkotaan maupun di kabupaten.
Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan, khususnya
oleh pemerintah, adalah membagikan kuota besar dalam jumlah banyak secara gratis
kepada masyarakat guna menunjang kebijakan “Belajar di Rumah” yang mau tidak
mau harus bergantung kepada akses internet. Kalaupun tidak dapat digratiskan,
setidaknya pasti ada upaya lain yang bisa dilakukan untuk menekan harga beli
kuota internet seminimal mungkin. Gratis atau murahnya biaya kuota sudah barang
tentu akan berimplikasi terhadap kelancaran sistem pembelajaran jarak jauh
secara daring, karena akan memudahkan para guru dan siswa-siswinya untuk
semakin intensif berkomunikasi melalui platform media sosial tanpa menambah
beban ekonomi mereka.
Selain menggratiskan atau setidaknya menekan biaya kuota
semurah mungkin, ke depannya apabila pandemi wabah Covid-19 sudah mulai
berakhir, pemerintah dan pihak swasta seharusnya semakin menggalakkan pembangunan
infrastruktur telekomunikasi secara masif. Pemerataan jaringan telekomunikasi,
khususnya internet, secara signifikan mutlak diperlukan dengan atau tanpa
adanya wabah Covid-19. Menyongsong era Revolusi Industri 4.0 serta sebagai
persiapan menghadapi kemungkinan buruk akan adanya wabah virus lain di masa
depan, jaringan internet sudah seharusnya merata di seluruh pelosok Ibu Pertiwi
dan dapat dinikmati oleh semua warga negeri ini tanpa demarkasi ekonomi serta
teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian, apabila suatu saat nanti
kebijakan “Belajar di Rumah” harus kembali diterapkan oleh pemerintah, semua
guru dan siswa di Indonesia dapat melaksanakannya secara maksimal, sehingga
tujuan yang diekspektasikan pun bisa diraih. Sudah saatnya kesenjangan sosial
dalam dunia pendidikan kita dihilangkan demi kemajuan bangsa dan negara
Indonesia yang sangat kita cintai ini.
Negara yang maju adalah negara yang rakyatnya sehat, baik
jasmani maupun rohani. Salah satu indikator kemajuan suatu bangsa dapat dilihat
melalui indeks kesehatan negara tersebut. Kesehatan para guru dan siswa sangat
mempengaruhi dunia pendidikan bangsa ini. Oleh karena itu, marilah kita
senantiasa menjaga kesehatan tubuh dengan rutin menjaga pola makan empat sehat
lima sempurna, rajin berolahraga secara teratur, tetap berada di rumah, selalu
mencuci tangan dengan sabun selama minimal duapuluh detik setiap kali pulang ke
rumah, menghindari kerumuman massa di luar rumah, dan konsisten menerapkan physical
distancing alias menjaga jarak dari orang lain di tempat-tempat publik.
Semoga
wabah Covid-19 segera berakhir dan kita dapat kembali melakukan segala
aktivitas serta rutinitas kehidupan sehari-hari dengan normal
sebagaimana biasanya. Semoga Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa senantiasa
melindungi bangsa dan negara Indonesia beserta seluruh rakyatnya. Amin.
Penulis: Indra Setyo Rahadhi, S.S., M.Si..
Guru SMP Islam Swasta serta Pengamat Dunia Pendidikan dan Politik.
Menetapkan letak togel online adalah tempat yang tepat untuk anda bermain permainan togel online. Keputusan yang sangat tepat sekali untuk anda bisa akses dengan link togel online teraman dan daftarkan diri anda disana sekarang karena pasaran yang ditawarkan sangat menarik dan hadiah jackpot yang memang diberikan dapat anda temui di situs togel online asli indonesia dan paling baik .
ReplyDelete