|
"Merry Christmas!" by Santa Claus and His Three Deers. |
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur hanya milik Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa Sang
Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya. Salawat dan salam mudah-mudahan
senantiasa tercurah kepada junjungan dan suri teladan umat Islam,
Baginda Nabi Besar Muhammad saw., beserta para keluarga, sahabat, dan
pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Dari
beberapa tulisan saya terdahulu, dapat dikatakan mungkin inilah yang
memiliki bobot materi paling besar sekaligus mungkin juga mengundang
pro-kontra alias kontroversi di kalangan umat Islam sendiri. Akan
tetapi, menurut saya tulisan berjudul "Hukum Ucapan Selamat Natal dan Makna Asli Pluralisme Agama"
ini perlu untuk dipublikasikan. Harapan saya, agar ikhtilaf atau
perbedaan pendapat yang sangat sering terjadi di internal umat Islam
tidak menjurus kepada sikap fanatisme berlebihan yang dapat
mengakibatkan 'disintegrasi' sesama Muslim sendiri, serta mencegah
berkembangnya ekstrimisme dan radikalisme agama di negara Indonesia yang
plural berlandaskan Pancasila.
Ada
dua hal yang saya bahas dalam tulisan ini, yaitu mengenai hukum
mengucapkan selamat Natal dan hukum mengikuti ritual sakramen Natal.
Dikarenakan isi tulisan ini panjang, maka kesimpulannya langsung saya
uraikan di sini. Penjelasannya yang panjang-lebar baru saya uraikan
secara detail di bawahnya. Inilah kesimpulannya:
1. Hukum Mengucapkan Selamat Natal = HALAL
Mayoritas
ulama kontemporer yang ahli di bidang fikih, tafsir, dan hadis (jumhur
ulama) sepakat menyatakan bahwa hukum mengucapkan "Selamat Natal" alias "Merry Christmas" adalah boleh alias halal
bagi umat Islam. Pasalnya, ucapan selamat Natal termasuk ke dalam
kehidupan sosial sehari-hari antarmanusia dan tidak masuk ke dalam ranah
ritual peribadatan yang berisi akidah, iman, dan keyakinan. Adapun yang
mengharamkan ucapan selamat Natal hanya segelintir (minoritas) ulama.
Sayangnya, yang terdengar sangat vokal di ranah publik justru kelompok
minoritas tersebut. Siapakah kelompok-kelompok minoritas tersebut? Saya
tidak akan menyebutkan di sini, karena saya tidak ingin ada fitnah dan
caci-maki yang tidak bermanfaat di sini. Ini yang perlu diluruskan.
2. Hukum Mengikuti Ritual Sakramen Natal = HARAM
Hampir
semua ulama kontemporer yang ahli di bidang fikih, tafsir, dan hadis
sepakat secara bulat menyatakan bahwa hukum mengikuti ritual sakramen
Natal adalah tidak boleh alias haram bagi umat Islam.
Pasalnya, ritual sakramen masing-masing agama sudah jelas berisi akidah,
iman, dan keyakinan yang berbeda-beda satu sama lain serta tidak dapat
saling mengintervensi. Ritual sakramen Natal bagi umat Kristen bisa
diibaratkan seperti ritual salat Idul Fitri atau Idul Adha bagi umat
Islam. Isinya sudah memasuki wilayah hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, bukan lagi hubungan terhadap sesama manusia. Ada garis merah
yang perlu diperhatikan dan dijaga dengan seksama dalam hal ini.
Artinya:
Antarpemeluk agama sangat dianjurkan untuk memelihara dan mengembangkan
sikap toleran dan tenggang rasa agar tercipta kehidupan masyarakat yang
rukun dan harmonis. Apalagi, bangsa Indonesia hidup di tengah-tengah
pluralisme suku, agama, ras, dan bahasa. Dengan menjunjung tinggi
ideologi Pancasila, tentu pluralisme tersebut harus dikembangkan secara
baik dan benar agar tercipta kerukunan dalam kehidupan seluruh rakyat
Indonesia.
Perlu diketahui, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tidak pernah
mengeluarkan fatwa bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya adalah
haram. Yang dihukumi sebagai haram dalam fatwa MUI pada tanggal 7 Maret
1981 silam di bawah kepemimpinan Buya Hamka adalah perayaan Natal
bersama,
bukan ucapan selamat Natal. Agar tidak terlalu panjang-lebar di tulisan ini, fatwa MUI tersebut dapat dibaca di sini:
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Perayaan Natal Bersama
Satu hal lagi yang saya bahas di sini adalah mengenai pluralisme agama. Klausa tersebut salah besar apabila dimaknai sebagai bentuk pengakuan bahwa semua agama benar. Sekali lagi, itu SALAH BESAR!!! Klausa pluralisme agama
artinya di Indonesia terdapat lebih dari satu agama yang masing-masing
pemeluknya memiliki hak dan kewajiban yang seimbang untuk menjalankan
syariat agamanya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan keyakinannya.
Klausa pluralisme agama
bukan berarti membenarkan semua agama. Pluralisme agama berarti kita
harus menjalin hubungan yang baik, penuh toleran, dan tenggang rasa
kepada sesama manusia walaupun agamanya berbeda-beda. Pluralisme agama
bukan berarti setiap insan dipaksa meyakini bahwa semua agama adalah
benar. Tidak seperti itu. Masing-masing manusia yang mengaku religius
jelas harus meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar sesuai dengan
keyakinannya dan ajaran agamanya yang tertuang di dalam kitab sucinya.
Umat Islam harus yakin bahwa agama Islam adalah yang paling benar. Umat
Kristen harus yakin bahwa agama Kristen adalah yang paling benar. Umat
Buddha harus yakin bahwa agama Buddha adalah yang paling benar. Umat
Hindu harus yakin bahwa agama Hindu adalah yang paling benar. Umat
Konghuchu harus yakin bahwa agama Konghuchu adalah yang paling benar.
Semua harus percaya bahwa agama yang diyakininya adalah yang paling
benar. Akan tetapi, keyakinan bahwa agamanya yang paling benar itulah
yang tidak boleh dipaksakan kepada orang lain yang sudah memiliki
iman terhadap ajaran agamanya sendiri. Suatu pemeluk agama harus
menghormati iman dan keyakinan pemeluk agama yang lain, serta tidak boleh melakukan intervensi iman dan keyakinan dengan cara apapun.
Apabila ada orang yang ingin berpindah agama, cukuplah hal tersebut
diselesaikan antara orang tersebut dengan orangtuanya (karena manusia
yang paling berhak terhadap seseorang hanyalah orangtua). Kita tidak
boleh mengintervensi, karena iman terhadap suatu agama tidak dapat
dipaksakan dan hidayah pun tidak dapat dipaksakan.
Untuk
memelihara kerukunan antarumat beragama, maka salah satu hal sosial
yang dapat dilakukan adalah saling mengucapkan selamat ketika pemeluk
agama lain merayakan hari besarnya, seperti "Selamat Idul Fitri",
"Selamat Idul Adha", "Selamat Maulid Nabi", "Selamat Natal", "Selamat
Waisak", dan sebagainya. Ucapan-ucapan selamat semacam itu tidak masalah
dilakukan, karena hal tersebut termasuk ke dalam kehidupan sosial
sehari-hari antarmanusia secara lisan maupun tulisan dan tidak berisi
ritual peribadatan yang berisi iman dan keyakinan. Ucapan-ucapan
tersebut sama seperti "Selamat Tahun Baru", "Selamat Ulang Tahun", dan
sebagainya.
Seorang
Muslim yang mengucapkan "Selamat Natal" kepada seorang Kristen bukan
berarti orang Muslim tersebut membenarkan ajaran agama Kristen, tetapi
ucapan tersebut adalah ungkapan persahabatan antara dirinya dengan para
pemeluk Kristen. Begitu pula seorang Kristen yang mengucapkan "Selamat
Idul Fitri" kepada seorang Muslim bukan berarti orang Kristen tersebut
membenarkan ajaran agama Islam. Semua hanyalah ungkapan duniawi
sehari-hari yang tidak sampai diimani dan diyakini dalam hati dan
kepercayaan terdalam, sehingga tidak jadi masalah ketika diucapkan.
Dengan saling mengucapkan selamat, kerukunan antarumat beragama akan
terpelihara dengan baik, sementara keyakinan masing-masing pemeluk
agamanya terhadap ajaran-ajaran agamanya tetap teguh dan kokoh.
Selain
itu, hal yang diperbolehkan bagi para pemeluk agama adalah mengikuti
acara selebrasi atau perayaan hari-hari besar agama-agama, selama
kegiatan tersebut bersifat non-sakramen ritual.
Selebrasi-selebrasi berbagai hari besar keagamaan tidak masalah untuk
diikuti para pemeluk agama lain, apabila dalam perayaan-perayaan
tersebut tidak mengandung prosesi sakramen ritual yang berisi akidah,
iman, dan keyakinan. Pasalnya, selebrasi-selebrasi tersebut hanyalah
aktivitas-aktivitas duniawi yang sangat umum dilakukan untuk menjaga
jalinan pertemanan dan persahabatan antarmanusia agar semakin akrab dan
hangat. Orang Islam boleh-boleh saja menghadiri acara parade Natal yang
berisi pentas seni dan budaya atau aneka perlombaan, karena dalam parade
tersebut tidak ada sakramen ritual. Begitu pula orang Kristen
boleh-boleh saja menghadiri acara halal-bihalal atau makan-makan seusai
salat Idul Fitri atau Idul Adha, karena dalam acara-acara tersebut tidak
ada sakramen ritual. Masih banyak contoh yang lain terkait
selebrasi-selebrasi dalam perayaan hari-hari besar keagamaan yang boleh
dilakukan lantaran bukan merupakan suatu sakramen ritual.
Intinya,
saling mengucapkan selamat hari raya dan saling ikut serta dalam
acara-acara selebrasi hari-hari besar keagamaan non-ritual sakramen
hukumnya adalah
boleh alias
halal bagi pemeluk agama
apapun. Bahkan, hal tersebut dianjurkan untuk memelihara hubungan baik
dan kerukunan antarumat beragama. Kegiatan apa saja yang boleh dilakukan
antarpemeluk agama yang berbeda-beda? Ya, halal-bihalal bersama umat
Islam ketika Idul Fitri boleh dilakukan oleh umat Kristen, makan-makan
bersama umat Islam ketika Idul Adha boleh dilakukan oleh umat Kristen,
menghias pohon cemara bersama umat Kristen ketika Natal boleh dilakukan
oleh umat Islam, menghias telur bersama umat Kristen ketika Paskah boleh
dilakukan oleh umat Islam, dan sebagainya. Selebrasi-selebrasi semacam
itu sifatnya duniawi, sehingga sah-sah saja dilakukan oleh pemeluk agama
manapun.
Yang hukumnya
tidak boleh alias
haram
adalah mengikuti sakramen ritual agama lain padahal keyakinannya
jelas-jelas berbeda, karena sudah memasuki area akidah, iman, dan
keyakinan masing-masing yang tidak boleh diintervensi sedikit pun. Orang
Islam diharamkan mengikuti misa Natal bersama di dalam gereja. Orang
Kristen diharamkan mengikuti salat Idul Fitri dan Idul Adha bersama di
dalam masjid. Orang Buddha diharamkan mengikuti sembahyang bersama di
pura. Orang Hindu diharamkan mengikuti ritual bersama di vihara. Begitu
pula seterusnya, karena sakramen ritual adalah teritori yang sudah
berisi akidah, iman, dan keyakinan agama masing-masing yang tidak dapat
diintervensi.
Dalam hal tersebut, ada baiknya kita memperhatikan
Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/432/1981 yang diteken oleh Menteri Agama Republik Indonesia pada tahun 1981, yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara, kepada berbagai instansi pemerintahan. Isi surat edaran tersebut pada intinya menjelaskan bahwa setelah acara ibadah umat Kristen, yakni ritual sakramennya, pemeluk agama lain boleh saja hadir untuk mengucapkan selamat dan merayakan Natal. Kegiatan ibadah (ritual sakramen) menurut surat edaran tersebut adalah sembahyang, berdoa, puji-pujian, bernyanyi, membakar lilin, dan lain-lain. Demikian pula halnya umat Islam, ketika pelaksanaan ritual salat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha tidak pernah mengundang pemeluk agama lain. Akan tetapi, setelah selesai salat maka pintu masjid dan rumah-rumah penduduk terbuka untuk semua tamu yang ingin ikut merayakan lebaran, seperti halal bihalal, makan bersama, memasak daging kurban, dan lain-lain.
Akan tetapi, dalam beberapa kondisi dan situasi tertentu yang sangat
darurat dan memaksa, maka mengikuti prosesi ritual sakramen ibadah agama lain oleh pemeluk suatu agama
diperbolehkan. Misalnya ada beberapa siswa beragama Islam yang bersekolah di institusi pendidikan Kristen yang mewajibkan seluruh siswanya tanpa kecuali untuk mengikuti ibadah kebaktian di gereja dengan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar. Maka dalam kasus darurat seperti itu, siswa-siswa beragama Islam tersebut diperbolehkan mengikuti ibadah kebaktian di gereja. Contoh lain, ada beberapa siswa beragama Kristen yang bersekolah di institusi pendidikan Islam yang mewajibkan seluruh siswanya tanpa kecuali untuk mengikuti mata pelajaran agama Islam. Dalam kasus seperti itu, siswa-siswa beragama Kristen tersebut tidaklah mengapa untuk mengikuti mata pelajaran agama Islam. Meskipun dalam kenyataannya, bentuk pemaksaan seperti itu - sepanjang pengetahuan saya - jarang sekali terjadi. Yang terbaik tentu kita semua wajib bersikap toleran dan tenggang rasa terhadap mereka yang memeluk agama selain agama kita. Walaupun berada dalam satu sekolah, kampus, atau kantor, akan tetapi jika agama kita berbeda-beda, kita
tidak boleh memaksa rekan-rekan kita untuk mengikuti prosesi ritual sakramen ibadah agama kita, karena itu adalah bentuk
pemaksaan agama yang tidak diajarkan oleh agama manapun.
Demikianlah tulisan saya kali ini.
Mudah-mudahan dapat meluruskan persepsi sebagian umat Islam yang
terlanjur terkontaminasi oleh pola pikir yang cenderung mengarah kepada
ekstrimisme dan radikalisme dalam berkehidupan sehari-hari dan semoga
tulisan saya ini tidak mengundang kontroversi yang penuh perdebatan
sengit.
Akhirul kalam, marilah kita jaga fanatisme
terhadap keyakinan agama kita masing-masing agar kita dapat menjalankan
segenap syariat dan ajaran agama kita secara maksimal tanpa intervensi
apapun. Di sisi lain, marilah kita jaga dan kembangkan sikap toleran,
tenggang-rasa, dan rukun antarumat beragama dalam berkehidupan berbangsa
dan bernegara sehari-hari. Semoga Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) semakin maju dan berjaya dengan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika,
dan Undang-Undang Dasar 1945. Tuhan memberkati kita semua. Amin.
~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S..