Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) |
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa semenjak deklarasi Ir. H. Joko Widodo alias Jokowi sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan)
dalam Pemilihan Umum 2014, berbagai macam tuduhan negatif, tudingan
miring, dan kampanye hitam langsung menyerang bertubi-tubi menimpa
Jokowi maupun PDI Perjuangan. Salah satu 'materi' tuduhan-tuduhan
negatif untuk menyerang Jokowi dan partai 'Moncong Putih' adalah
'mengungkit-ungkit' dan langsung menyalahkan berbagai kebijakan yang
ditempuh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 2001 hingga tahun
2004. Pada kurun waktu tersebut, partai politik yang berkuasa di
Indonesia adalah PDI Perjuangan dan Ketua Umum PDI-P Hj. Megawati Soekarnoputri
menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Presiden Megawati
Soekarnoputri mulai menjabat sejak tanggal 23 Juli 2001, pasca Sidang
Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) yang
memutuskan pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid dari kursi RI-1.
Berbagai tuduhan negatif tersebut antara lain klaim bahwa Presiden
Megawati menerapkan kebijakan swastanisasi, melindungi konglomerat
hitam, membiarkan Pulau Sipadan dan Ligitan lepas dari kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menjual Gas Tangguh dengan harga sangat murah ke Tiongkok, serta menjual kapal tanker VLCC Pertamina.
Sebagai seorang Sukarnois, sebagai
seorang Nasionalis, sebagai seorang Pancasilais, sebagai seorang
Religius, sebagai seorang simpatisan PDI Perjuangan, dan sebagai seorang
penggemar Megawati Soekarnoputri, saya merasa terpanggil untuk berperan
serta meluruskan dan menyebarkan klarifikasi atau bantahan terhadap
berbagai tuduhan negatif tersebut atas dasar fakta sejarah dan melalui sumber referensi yang valid-terpercaya.
Klarifikasi dan pelurusan terhadap berbagai tuduhan fitnah negatif, tudingan
miring, dan kampanye hitam yang diarahkan kepada PDI Perjuangan dan Ibu
Megawati Soekarnoputri tersebut saya ringkas dan ulas kembali dalam
tulisan ini. Sumber referensi yang saya gunakan insya Allah valid dan
tidak mengingkari fakta-fakta sejarah.
1. Tuduhan: Presiden Megawati Melakukan Swastanisasi dan Melindungi Konglomerat Hitam?
Klarifikasi:
- TIDAK BENAR bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri mengambil inisiatif kebijakan untuk melakukan swastanisasi dan melindungi konglomerat hitam. TIDAK ADA BUKTI sama sekali untuk menyatakan bahwa Megawati ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia dari tanggal 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 telah dengan secara sengaja mengeluarkan kebijakan penjualan aset usaha negara kepada pihak swasta dan melindungi kalangan bisnis yang ingkar dalam melaksanakan kewajibannya membayar utang kepada negara;
- Inisiatif kebijakan untuk melakukan swastanisasi dan penalangan utang kalangan swasta adalah produk dari rancangan kebijakan besar yang diambil oleh rezim Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto. Sebagai akibat dari kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997 untuk menangani krisis keuangan yang tengah berlangsung, rezim Orde Baru telah dipaksa untuk menjalankan seluruh rekomendasi yang terdapat dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Kerangka kesepakatan yang ditandatangani Presiden Soeharto dan IMF pada 31 Agustus 1997 ini menjadi titik awal untuk menghasilkan rangkaian kesepakatan lainnya dalam bentuk kesepakatan Letter of Intent sebagai persyaratan (conditionality) terhadap pemberian bantuan keuangan yang diberikan IMF. Swastanisasi dan penalangan utang swasta adalah bagian dari produk kebijakan yang dihasilkan di bawah kerangka kesepakatan IMF tersebut yang dikenal dengan paket stand by arrangement;
- FAKTA yang ada membuktikan bahwa MEFP yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto tersebut juga telah dilanjutkan oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Walau hanya memerintah selama satu setengah tahun, pemerintah transisional Presiden Habibie (21 Mei 1998 s.d. 20 Oktober 1999) telah menyepakati sebanyak 7 (tujuh) kesepakatan dengan IMF (Letter of Intent - LoI). Masing-masing LoI tersebut tertanggal 29 Juli 1998, 11 September 1998, 19 Oktober 1998, 13 November 1998, 16 Maret 1999, 14 Mei 1999, dan 22 Juli 1999. Demikian juga halnya dengan masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Rezim yang merupakan produk dari 'Koalisi Poros Tengah' ini juga telah menghasilkan kesepakatan lanjutan. Selama kurun waktu dari 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001, setidaknya terdapat 4 (empat) kesepakatan yang dihasilkan oleh pemerintahan Gus Dur;
- Adanya sembilan Letter of Intent (LoI) yang dihasilkan selama pemerintahan Presiden Megawati juga adalah konsekuensi dari rentetan kebijakan yang dihasilkan pada masa-masa sebelumnya. Keseluruhannya merupakan produk dari skenario kebijakan besar yang telah dihasilkan pada masa rezim Orde Baru-nya Pak Harto. Dalam hal ini wajib dicatat bahwa seluruh skenario kebijakan tersebut BERAKHIR pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Keputusan pemerintahan Presiden Megawati untuk mengakhiri seluruh paket kebijakan IMF pada bulan Desember 2003 sesungguhnya telah meletakkan landasan dan menjelaskan mengapa pemerintahan berikutnya tidak lagi terjebak oleh kondisi dan persyaratan yang dipaksakan oleh IMF. Ringkasnya, kurun waktu dari tahun 1997 hingga 2003 sesungguhnya telah memaksa seluruh pemerintahan di Indonesia - baik pemerintahan Orde Baru-nya Soeharto, pemerintahan transisional Habibie, pemerintahan 'Koalisi Poros Tengah'-nya Gus Dur, maupun pemerintahan Megawati - untuk 'mencuci piring-piring kotor' yang ditinggalkan oleh kebijakan ekonomi rezim Orde Baru;
- Secara politik, pilihan untuk tidak menaati seluruh kesepakatan ini sebenarnya juga telah tertutup. FAKTA SEJARAH mencatat bahwa tidak terdapat satu pun Tap MPR yang dikeluarkan setelah kejatuhan Presiden Soeharto yang menyatakan bahwa kesepakatan dengan IMF adalah tidak sah secara konstitusional dan harus dibatalkan oleh pemerintah Indonesia pasca Pak Harto. Bahkan, Tap MPR yang telah dikeluarkan oleh lembaga tertinggi negara ini justru menjadi suatu landasan kerangka politik untuk menyandera dan sekaligus mendorong Presiden untuk melakukan swastanisasi serta memberikan penalangan utang terhadap pihak swasta;
- Tap MPR No. X tahun 2001 misalnya, menugaskan kepada Presiden Megawati untuk tetap melanjutkan kebijakan yang tidak pro-rakyat. Dalam bidang ekonomi dan keuangan, Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden untuk segera menyusun rencana tindakan swastanisasi. Tap MPR No. X/2001 ini juga menugaskan kepada Presiden Megawati untuk melakukan penjualan aset-aset yang dikelola oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Demikian juga halnya dengan Tap MPR No. VI tahun 2002. Terkait dengan kebijakan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, tidak satu pun rekomendasi kebijakan dari Tap MPR No. VI/2002 ini yang mengharuskan Presiden Megawati untuk menghentikan swastanisasi dan penjualan aset yang diambil alih pemerintah dan berada di bawah BPPN;
- Wewenang Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden secara konstitusional tentu saja tidak boleh menghasilkan kebijakan ekonomi yang melampaui wewenang MPR sebagai lembaga tertinggi negara Republik Indonesia. Seluruh kebijakan ekonomi Megawati dalam melakukan swastanisasi dan penjualan aset-aset BPPN adalah sebuah keharusan untuk sealur dengan mandat kewenangan yang diberikan oleh Tap MPR. Karena itu pula, pernyataan bahwa Megawati telah melakukan penyimpangan konstitusional dalam kebijakan ekonomi selama menjabat sebagai Presiden RI adalah suatu pernyataan politik yang dimotivasi oleh motif-motif untuk mengingkari bukti-bukti sejarah yang ada; dan
- Sesungguhnya Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengeluarkan suatu perintah untuk mengambil tindakan hukum kepada pihak pengusaha yang tidak menyelesaikan kewajibannya. Instruksi Presiden No. VIII/2002 yang ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri secara tegas telah menugaskan kepada pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung sebagai lembaga utama penegak hukum di Indonesia untuk mengambil tindakan bagi para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN. Inpres ini tidak pernah dicabut dan tentu saja seharusnya tetap berlaku sebagai landasan ketentuan hukum untuk memaksa pemerintahan pasca-Presiden Megawati mengambil tindakan-tindakan hukum.
2. Tuduhan: Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari Pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ke Malaysia Kesalahan Presiden Megawati?
Klarifikasi:
- Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice - ICJ) pada 21 Desember 2001 yang menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Malaysia, berawal dari keputusan yang dibuat oleh Presiden Soeharto empat tahun sebelumnya. Pada tanggal 31 Mei 1997, setelah melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir bin Mohammad, Presiden Soeharto bersepakat untuk membawa sengketa kepulauan Sipadan dan Ligitan itu ke Mahkamah Internasional;
- FAKTA SEJARAH mencatat bahwa pada tanggal 31 Mei 1997, Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan BUKAN BAGIAN dari rezim Orde Baru. FAKTA SEJARAH mencatat pula bahwa setahun sebelum 31 Mei 1997 itu, Megawati dan PDI Perjuangan telah dizalimi dan disingkirkan dari proses politik melalui peristiwa penyerbuan 27 Juli 1996, karena dianggap berbahaya bagi kelangsungan rezim Orde Baru. TIDAK ADA ANDIL APAPUN dari Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan dalam keputusan yang dibuat oleh Presiden Soeharto pada 31 Mei 1997 itu;
- Membawa kasus Sipadan-Ligitan adalah suatu KESALAHAN SEJARAH yang dilakukan oleh seluruh kekuatan politik pendukung Orde Baru-nya Presiden Soeharto. Disebut kesalahan sejarah, karena sebenarnya tidak terdapat keharusan suatu sengketa wilayah untuk dibawa ke mekanisme hukum internasional. Jika tidak terdapat kesepakatan dari negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan melalui mekanisme hukum internasional, maka tidak terdapat kewenangan ICJ untuk menyelesaikannya. Itu sebabnya banyak sekali sengketa wilayah masih terus berlangsung hingga sekarang tanpa menyandarkan diri pada hukum internasional. Dalam praktiknya, pendekatan militer dan bukan pendekatan hukum lebih diutamakan (the last dan best resort) dibandingkan dengan pendekatan hukum internasional;
- Pemerintahan Presiden Megawati hanya menerima warisan kesalahan sejarah itu, karena keputusan Mahkamah Internasional - sebagai akibat dari kesepakatan Presiden Soeharto setelah bertemu Mahathir Mohammad - tersebut dikeluarkan pada masa Megawati memimpin. Harus dicatat bahwa proses perguliran hukum tidak dapat dihentikan setelah suatu negara sepakat untuk menyelesaikannya melalui ICJ. Pemerintahan Presiden Megawati terpaksa menerima keputusan ICJ sebagai suatu pilihan tanpa alternatif. Penolakan terhadap keputusan ICJ adalah suatu ketidaklaziman dari praktik hukum internasional, karena di sisi lain, konvensi hukum internasional seperti Hukum Laut Internasional (UNCLOS) yang memasukkan pengakuan secara resmi terhadap negara kepulauan (archipelago state) juga telah memberikan manfaat besar bagi Indonesia; dan
- Oleh karena itu, adalah suatu KESALAHAN BESAR jika masih ada berbagai pihak yang menilai bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri telah abai dan lalai dalam menjaga kedaulatan Indonesia dengan mengangkat kasus Sipadan-Ligitan. Sesungguhnya, Presiden Megawati Soekarnoputri telah menunjukkan komitmen yang luar biasa untuk menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat. Wajib dicatat bahwa Presiden Megawati menolak permintaan ekstradisi oleh pihak luar untuk mengadili Abu Bakar Ba'asyir di luar wilayah Indonesia. Penolakan Presiden Megawati ini menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Indonesia sebagai berdaulat tidak pernah mengizinkan negara manapun dapat membawa warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di Indonesia untuk diadili di negara lain. Komitmen untuk menjaga martabat kedaulatan Indonesia terhadap seluruh dunia juga ditunjukkan oleh Presiden Megawati dalam menangani masalah buruh migran Indonesia di Malaysia. Presiden Megawati mempelopori pemulangan para TKI dan TKW ilegal yang berada di Malaysia dan berupaya melakukan pendekatan terhadap Malaysia untuk mau melakukan pemutihan terhadap status ilegal mereka. Perjuangan tersebut bahkan tetap dilakukan hingga saat ini melalui kader-kader PDI Perjuangan di DPR-RI.
3. Tuduhan: Presiden Megawati Menjual Gas Tangguh Sangat Murah ke Luar Negeri?
Klarifikasi:
- Tahun 2002 adalah tahun dimana perekonomian masih sangat compang-camping akibat 'keblingeran' para politisi busuk. FAKTA YANG TERLUPAKAN adalah saat itu harga jual gas masih terpatok kepada harga minyak yang pada dekade tersebut belum setinggi sekarang di pasar dunia. Bayangkan, satu liter bensin di Kota Ottawa (Kanada) saat itu hanya sekitar US$ 0.45 dibandingkan saat ini yang mencapai US$ 1.35!
- Perlu diperhatikan juga bahwa pada saat itu market untuk gas dunia adalah pasar pembeli, bukan penjual, dimana produsen itu didikte harga dari pasar pembeli. Penjualan dengan sistem spot market ini sangat lemah dan menjadi salah satu target Indonesia saat itu untuk menambah kas APBN. Hubungan yang terjalin antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok dimulai kembali di pengujung era pemerintahan Presiden Soeharto dan semakin akrab di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal tersebut membawa hawa positif dalam bidang ekonomi. Pemerintah RRT bersedia menjadi pembeli Gas Tangguh yang saat itu bagi Indonesia sangat desperate untuk menggaet kepercayaan pihak luar demi pemulihan perekonomian. Akhirnya, memang tidak sia-sia dikarenakan Indonesia berhasil pula menarik pembeli dari Korea Selatan dan Meksiko setelah sukses menggaet RRT; dan
- Persoalan di kemudian hari mengenai lonjaknya harga gas dunia sesungguhnya dari awal tidak pernah bisa diprediksi atau diduga sedikitpun oleh pihak manapun. Selain itu, kontrak jangka panjang tersebut bukanlah suatu hal yang mengikat kuat. Dalam kontrak tersebut telah terbuka celah di mana antara produsen dan konsumen dimungkinkan untuk melakukan renegosiasi. Dan, hal ini adalah lumrah dan lazim yang juga terjadi di negara manapun. Kenyataan bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2006 gagal merenegosiasi harga tersebut disinyalir karena adanya miss-trust antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok, sebagaimana kejadian miss-handling terkait pembelian pesawat Merpati dan Pembangkit Listrik 10.000 MW. Sekali lagi, renegosiasi adalah hal yang lumrah, lazim, wajar, biasa, dan bisa diusahakan asal dikerjakan dengan niat serta kemauan yang keras.
4. Tuduhan: Presiden Megawati Sengaja Menjual Dua Kapal Tanker Pertamina?
Klarifikasi:
- Perlu diluruskan di sini bahwa penjualan dua kapal tanker Pertamina BUKAN PENJUALAN FISIK ASET dalam arti sebenarnya. Ini adalah PENGALIHAN HAK PEMBELIAN kapal yang sedang dalam tahap produksi di Korea Selatan dan tentunya atas persetujuan pihak pembuat kapal tersebut. Pengalihan dan pembatalan pembelian ini sering terjadi pula di dunia aviasi dimana hak pembelian order pesawat terbang kadang harus dibatalkan atas alasan ekonomi tertentu, sehingga hal pembeliannya dialihkan ke pihak lain yang lebih membutuhkan saat itu;
- Saat itu, Direktur Utama Pertamina Baihaki Hakim yang ditunjuk langsung oleh Presiden Abdurrahman Wahid memperjuangkan kemandirian transportasi tanpa harus didikte oleh kartel tanker. Tentu saja ini tidak salah, karena sesuai prinsip ekonomi "kalau mampu beli, kenapa harus menyewa?". Secara jangka panjang, toh hal ini menguntungkan sekali. Sebagaimana Presiden Gus Dur, Dirut Pertamina yang satu ini adalah seorang visioner yang cemerlang. Namun apa daya, kadang seorang visioner juga terjebak dalam realitas ekonomi yang sulit saat itu. Ibaratnya, Anda memikirkan masa depan yang indah, sedangkan kehidupan hari esok belum tentu terlewatkan dengan baik. Perubahan status BUMN yang menjadi Persero otomatis membebani Pertamina untuk meraih laba atau profit sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, direksi baru pun melakukan reposisi perusahaan dengan memfokuskan diri kepada hal-hal inti dari core business Pertamina. Perlu diingat juga, sejak zamannya Ibnu Sutowo, Pertamina selalu melebarkan diri ke sektor bisnis yang tidak berhubungan dengan core business-nya. Alhasil, perusahaan plat merah ini kelimpungan dengan beban utang yang membengkak dari sektor bisnis yang tidak penting dan merugikan seperti perhotelan, biro perjalanan, dan lain-lain;
- Belajar dari pengalaman itulah direksi baru memutuskan untuk menjual hak pembelian kapal tanker Pertamina, sehingga dapat memperkuat struktur finansial perusahaan dan memfokuskan diri kepada bisnis inti, yaitu eksplorasi minyak dan gas bumi (migas). Memang benar, Pertamina diiming-imingi pembelian yang tidak perlu dibayar dulu karena kredit dari Bank Exim Korea Selatan. Namun, sesuai analisa direksi baru, walaupun tanpa keluar se-sen-pun, semua ini termasuk suatu beban utang perusahaan jangka panjang. Disamping saat itu kebutuhan masih belum mendesak untuk pemakaian kapal taknker VLCC ini. Pasalnya, selama ini bidang perkapalan tidak termasuk bisnis inti Pertamina, tetapi hanya pendukung dari kegiatan produksi migas. Meski pengadaan kapal tanker penting, tetapi hal itu bukanlah merupakan bisnis inti Pertamina; dan
- Kebijakan penjualan kapal tanker Pertamina benar-benar mutlak keputusan bisnis semata dalam rangka menyesuaikan keadaan situasi finansial perusahaan pada saat itu dan perbedaan pendapat antara direksi lama dengan kebijaksanaan direksi baru yang di kemudian hari dipakai oleh pihak-pihak tertentu di internal untuk 'menggoreng' menjadi suatu kasus. Fakta juga membuktikan sesuai dengan pengakuan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) KPK sendiri saat itu Erry Riyana Hardjapamekas dari pemeriksaan yang telah dilakukan pihaknya itu diakui memang terdapat perbedaan antara direksi lama pimpinan Baihaki Hakim dengan direksi baru Pertamina saat itu pimpinan Arifin Nawawi. Akan tetapi, semua hal tersebut wajar dan sejauh ini belum ada indikasi ke arah korupsi.
Demikianlah klarifikasi-klarifikasi berupa pelurusan fakta sejarah dan pembantahan atas berbagai tuduhan fitnah negatif, tudingan miring, serta kampanye hitam (black campaign) yang menyerang pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan di tahun 2001 hingga tahun 2004. Semoga hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk tidak serta-merta menelan berbagai informasi yang terkategori negatif secara bulat-bulat tanpa melakukan cross-check terlebih dahulu ke berbagai sumber yang valid dan disertai fakta sejarah yang kuat.
Kesimpulannya jelas: pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004 TIDAK PERNAH melakukan pengkhianatan ataupun bertindak korup yang merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Justru pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan-lah yang telah meletakkan sebagian dasar pembangunan yang pro-rakyat serta mudah dijalankan oleh pemerintahan berikutnya, yaitu era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 s.d. 20 Oktober 2014). Patut dicatat pula bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri pada tahun 2003 atas dasar Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 dan saat itu pemerintah Republik Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sumber Referensi:
- JKW4P - Presiden Megawati Tidak Pernah Berniat Swastanisasi dan Melindungi Konglomerat Hitam
- JKW4P - Lepasnya Sipadan-Ligitan Bukan Kesalahan Presiden Megawati
- Liem, Hans. 2014. Membuka Dusta Fitnah Para Politisi Terhadap Pemerintahan Megawati. Kompasiana
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Wikipedia Bahasa Indonesia
~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S..