|
Kawasan Timur-Tengah |
Kawasan Timur-Tengah dapat dikatakan
sebagai tempat lahir sekaligus pusat kebudayaan dan peradaban manusia yang
tertua di dunia. Selain itu, kawasan Timur-Tengah juga dikenal sebagai tempat
lahirnya tiga agama samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Sebagai tempat di mana perang
saudara, konflik antarsuku, hingga perebutan teritori kekuasaan sering terjadi
– dan sebagian diantaranya masih berlangsung hingga saat ini –, sejarah sistem
politik yang ada di kawasan Timur-Tengah menjadi topik yang menarik untuk
dipelajari. Selain itu, berbagai dinamika politik yang terjadi sepanjang
sejarah keberlangsungannya juga menjadi tema yang menarik untuk didiskusikan.
Masyarakat Timur-Tengah sebagian
besar adalah orang-orang yang hidup di gurun pasir yang panas dan berdebu.
Kondisi geografis tersebut berpengaruh terhadap pembentukan watak masyarakat
Timur-Tengah yang cenderung keras dan menjunjung tinggi fanatisme kesukuan (‘ashabiyyah). Sistem pemerintahan di kawasan
Timur-Tengah dalam sejarah telah mengalami berkali-kali perubahan. Secara umum,
perubahan sistem pemerintahan di Timur-Tengah dapat dibagi menjadi 4 (empat)
masa, yaitu masa pra-Islam, masa kemunculan agama Islam, masa kekhalifahan
Islam, dan masa Arab modern.
A. Sistem
Pemerintahan di Timur-Tengah Pada Masa Pra-Islam
Pada masa pra-Islam yang dikenal
sebagai ‘masa jahiliyah’, bangsa Arab sudah hidup dalam berbagai kelompok suku
atau kabilah yang gemar berperang satu sama lain. Beberapa abad sebelumnya,
tercatat ada beberapa kerajaan yang pernah eksis di Semenanjung Arab. Kerajaan-kerajaan pertama yang
berhasil diketahui pernah eksis di Arab Selatan (sekarang Yaman) adalah
Kerajaan Saba dan Kerajaan Minea (700-3 SM). Kedua kerajaan tersebut menganut
sistem teokrasi dan kemudian menganut sistem sekuler.
Sejarah juga mencatat bahwa di Arab
Selatan pernah berdiri Kerajaan Himyar, Kerajaan Qataban, dan Kerajaan
Hadramaut, yang semuanya menyembah berhala dan matahari. Sementara itu, di
kawasan Arab Utara pernah berdiri Kerajaan Nabatea, Kerajaan Ghassan, Kerajaan
Palmyra, Kerajaan Lakhmi, hingga Kerajaan Kindah, yang semuanya menganut sistem
monarki absolut. Kerajaan Lakhmi dan Kerajaan Kindah banyak dipengaruhi oleh
ajaran Kristen Nestorian. Kerajaan-kerajaan yang berada di
wilayah Arab Utara rata-rata berada di bawah pengaruh Kekaisaran Bizantium,
sedangkan kerajaan-kerajaan yang berada di wilayah Arab Selatan banyak
dipengaruhi Kekaisaran Persia.
B. Masa
Kelahiran Agama Islam
Ketika Islam lahir dan berkembang di
Jazirah Arab, banyak kabilah yang menyatakan masuk Islam dan tunduk di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Islam yang mengesampingkan fanatisme kesukuan
berhasil mempersatukan kabilah-kabilah Arab menjadi satu saudara melalui ukhuwah
islamiyah.
Sistem pemerintahan Islam yang
dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. berkarakter sentralistik. Rasulullah saw.
bertindak sebagai pemimpin tertinggi spiritual sekaligus sebagai pemimpin
tertinggi pemerintahan yang juga menjadi panglima perang. Negara Islam (Daulah
Islamiyah) yang Rasulullah saw. bangun dan beribukota di Madinah
Al-Munawwarah berbentuk negara teokrasi Islam dengan wilayah yang membentang di
seluruh Semenanjung Arab.
Tidak hanya umat Islam yang tunduk
di bawah Negara Islam Madinah, tetapi juga umat Yahudi dan orang-orang musyrik
yang terikat dalam Piagam Madinah. Pada tahun ke-9 Hijriyah (630-631 M), Nabi
Muhammad saw. berhasil membuat perjanjian damai dengan kepala suku Kristen,
bernama Perjanjian Aqabah, dan sejumlah suku Yahudi. Perjanjian itu diantaranya
menyatakan bahwa penduduk asli yang beragama Kristen dan Yahudi akan dilindungi
oleh umat Islam dan membayar jizyah (upeti).
Sepanjang tahun ke-9 Hijriyah itu
juga berdatangan utusan dari berbagai daerah untuk membuat aliansi dengan
Negara Islam. Bangsa Arab yang sebelumnya tidak pernah tunduk pada perintah
satu orang akhirnya tunduk dalam dominasi kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dan
ikut berjuang bersama beliau. Dengan demikian, Rasulullah saw. semakin
menegaskan posisinya sebagai pemimpin tunggal dalam Islam, baik secara
spiritual maupun dalam tata-negara.
Nabi Muhammad saw. menjalankan
posisinya sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara dengan tidak otoriter atau
sewenang-wenang. Nabi Muhammad saw. memimpin umat Islam dengan tuntunan wahyu
Ilahi dan terkadang bermusyawarah bersama para sahabatnya. Banyak hukum atau kebijakan
Rasulullah saw. yang berasal dari saran para sahabat.
C. Sistem
Pemerintahan Timur-Tengah Pada Masa Kekhalifahan Islam
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.,
bentuk negara yang dikenal umat Islam adalah Kekhalifahan Islam. Peran Nabi
Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul tidak tergantikan. Istilah “khalifah”
sebagai pemimpin Kekhalifahan Islam berarti “pengganti” kepemimpinan Rasulullah
saw. dalam bidang agama dan pemerintahan, dan bukan lagi sebagai penerima
wahyu. Al-Mawardi dalam kitabnya “Al-Ahkam Al-Sulthaniya” dan beberapa
ulama Sunni menyebutkan bahwa kriteria khalifah adalah haruslah keturunan
Quraisy, laki-laki dewasa, sehat badan dan pikiran, berani dan bertenaga untuk
melindungi wilayah Islam, serta memperoleh pengakuan dari umat Islam melalui
baiat.
Tugas khalifah diantaranya adalah
melindungi keimanan Islam, mempertahankan wilayah Islam, menyatakan jihad dalam
keadaan terpaksa, mengangkat pejabat negara, menarik pajak dan mengatur
keuangan masyarakat, serta menegakkan keadilan. Masa Kekhalifahan Islam dimulai
sejak era Abu Bakar Al-Shiddiq (632-634 M), Umar bin Al-Khaththab (634-644 M),
Utsman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M).
Khalifah memiliki beberapa
keistimewaan seperti penyebutan namanya pada setiap khutbah Jumat dan keping
mata uang, hak menggunakan burdah (jubah nabi) pada acara-acara penting
kenegaraan, serta pengurusan benda-benda suci seperti perabotan, stempel,
hingga gigi dan rambut milik Rasulullah saw.
Secara umum, era kekhalifahan Islam
pada masa Khulafaur Rasyidin (632-661 M) berlangsung secara demokratis, karena
setiap khalifah ditetapkan melalui proses musyawarah di antara para pemimpin
masyarakat Islam sebelum dibaiat. Selain itu, sistem pemerintahan pada era
Khulafaur Rasyidin tidak bersifat monarki, karena para khalifah dijabat oleh
para sahabat Rasulullah saw. yang paling tinggi kemampuannya secara bergantian,
tidak turun-temurun, dan demokratis (melalui musyawarah-mufakat).
Sementara itu, kelompok Syiah tidak
mengenal konsep kekhalifahan, tetapi imamah. Mereka menyatakan bahwa jabatan
imamah hanya bagi Ali bin Abi Thalib dan keturunannya yang diklaim telah
ditunjuk oleh Rasulullah saw. untuk menggantikannya dengan ketentuan Allah.
D. Sistem
Pemerintahan Pada Masa Dinasti Umawiyah
Dinasti Umawiyah yang didirikan oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 660 M adalah peletak dasar sistem kerajaan
atau monarki turun-temurun dalam Islam. Meskipun istilah ‘kekhalifahan’ atau
‘khilafah’ masih digunakan dalam menyebut negara Umawiyah, akan tetapi
sesungguhnya sistem kepemimpinannya sudah tidak lagi demokratis melalui
musyawarah-mufakat. Muawiyah dianggap sebagai raja pertama dalam Islam dan
sejak itu tahta khalifah Kekhalifahan Umawiyah diwariskan secara turun-temurun
kepada keturunannya.
Imperium Umawiyah menjalankan sistem
pemerintahan sentralistik, di mana semua kebijakan dan keputusan ada di tangan
khalifah, sedangkan para gubernur menjadi pembantu-pembantu khalifah.
Pemerintahan Dinasti Umawiyah sendiri cenderung meniru sistem Kekaisaran Bizantium
dan Kekaisaran Persia.
E. Sistem
Pemerintahan Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Dalam menjalankan pemerintahan,
Dinasti Abbasiyah tidak jauh berbeda dengan Dinasti Umawiyah, yakni sistem
monarki yang sentralistik. Dinasti Abbasiyah dikenal sebagai imperium Islam
yang sangat menonjolkan Arabisme, dimana pada masa ini bahasa dan kebudayaan
Arab sangat diutamakan, sehingga berkembang sangat pesat. Banyak buku-buku
berbahasa asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga sangat
berperan dalam mengiringi kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Imperium
Abbasiyah.
Pasca-kemunduran Dinasti Abbasiyah,
muncul beberapa kerajaan di dunia Islam seperti Imperium Fatimiyah di Mesir,
Imperium Umawiyah II di Spanyol, Imperium Buwaihi di Persia, dan lain-lain.
Sistem monarki sentralistik dalam negara Islam sendiri terus bertahan hingga
munculnya Dinasti Utsmaniyah di Turki.
F. Sistem
Pemerintahan Pada Masa Dinasti Utsmaniyah
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah adalah
imperium Islam di kawasan Timur-Tengah yang tidak berasal dari bangsa Arab.
Dinasti Utsmaniyah berdiri pada tahun 1299 M dengan Utsman I sebagai raja atau
khalifah pertamanya. Dinasti Utsmaniyah adalah kekhalifahan terakhir dalam
sejarah Islam. Dinasti Utsmaniyah atau Imperium Turki Ottoman menjalankan sistem
pemerintahan monarki absolut. Meskipun demikian, Imperium Turki Ottoman
mengenal adanya Majelis Syura yang berfungsi memberikan pertimbangan atau
nasihat kepada para khalifah atau para sultan. Majelis Syura terdiri atas para
ulama yang diangkat langsung oleh sultan (khalifah).
Imperium Turki Ottoman memiliki
wilayah yang sangat luas terbentang dari Aljazair di Afrika Utara hingga
Azerbaijan di Asia Tengah dan dari Rumelia di Eropa Timur hingga Yaman di Arab
Selatan. Ibukota Imperium Turki Ottoman adalah Konstantinopel yang kemudian
menjadi Istanbul. Pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni
(1520 M), disusun sebuah undang-undang bernama “Multaqa Al-Abhur” oleh
Ibrahim Al-Halabi, yang mengatur hukum-hukum Turki Utsmani hingga terjadinya
revolusi pada abad ke-19.
Dalam struktur pemerintahan Imperium
Turki Ottoman, sultan atau khalifah adalah penguasa tertinggi yang dibantu oleh
shadr al-a’zham (perdana menteri) yang membawahi para gubernur yang
memimpin setiap provinsi. Di bawah gubernur terdapat al-zanaziq atau al-alawiyah,
yakni para bupati.
Selanjutnya, Imperium Turki Ottoman
mengalami kemunduran akibat lemahnya beberapa sultan yang diiringi gencarnya
ekspansi negara-negara Eropa terhadap berbagai wilayah kekhalifahan. Setelah
Imperium Turki Ottoman mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I, satu per satu
wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah lepas ke tangan Barat dan sebagian lainnya
memerdekakan diri. Maroko, Aljazair, Tunisia, Suriah, dan Libanon dikuasai
Prancis. Libya diduduki Italia. Inggris kemudian berkuasa di Palestina, Irak,
dan kawasan Teluk Arab.
Deklarasi kemerdekaan Republik Turki
modern pada tanggal 29 Oktober 1923 yang dilanjutkan dengan dihapuskannya
sistem kekhalifahan Islam secara total pada tanggal 3 Maret 1924 oleh Presiden
Mustafa Kemal Pasha Atatturk menjadi akhir cerita kekhalifahan Islam yang telah
berlangsung selama hampir 14 abad. Turki kemudian menjadi republik parlementer.
G. Sistem
Pemerintahan di Timur-Tengah Pada Masa Modern
Sejak imperialisme Eropa di
awal-awal abad ke-19, Dunia Arab mengalami kebangkitan dan mulai muncul
kesadaran akan pentingnya nasionalisme Arab. Buah dari keruntuhan Kekhalifahan
Turki Utsmaniyah adalah lahirnya negara-negara Arab baru di kawasan
Timur-Tengah dengan semangat nasionalisme terhadap bangsa atau kabilah
terkuatnya masing-masing.
Mesir memperoleh kemerdekaan dari
Inggris pada tanggal 28 Februari 1922 dan saat itu berbentuk kerajaan. Tiga
dekade kemudian, pada tanggal 23 Juli 1952 Gamal Abdel Nasser menggulingkan
Raja Farouq dan membentuk pemerintahan dengan sistem republik presidensial.
Selain itu, presiden-presiden Mesir yang pada umumnya berasal dari kalangan
angkatan bersenjata membuat Mesir cenderung didominasi oleh pemerintahan
bercorak junta militer hingga sekarang.
Arab Saudi pada awalnya terdiri atas
dua wilayah utama, yakni Hijaz dan Najd, dimana Hijaz sebelumnya merupakan
salah satu provinsi utama Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, karena di dalamnya
terdapat dua kota suci Makkah dan Madinah. Setelah Imperium Turki Ottoman
hancur pada tahun 1924, Raja Abdul Aziz bin Abdul Rahman Al-Saud
mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September
1932 dengan keberhasilan penyatuan Hijaz
dan Najd dan penetapan Riyadh sebagai ibukota negara.
Selanjutnya, Arab Saudi berbentuk
monarki konstitusional (mamlakah dusturiyah), dimana raja sebagai
pemimpin tertinggi negara dibantu oleh keberadaan Majelis Syura yang diisi oleh
kalangan ulama dengan fungsi memberikan nasihat dan masukan kepada raja. Akan
tetapi, pada akhirnya hanya raja yang memiliki kewenangan penentu keputusan
tertinggi. Adapun hukum yang berlaku di Arab Saudi dikembalikan kepada
hukum-hukum Alquran sebagai konstitusi tertinggi. Menariknya, Arab Saudi
sendiri tidak pernah dijajah oleh bangsa Barat, sebagaimana Semenanjung Arab
pada masa lampau juga tidak pernah diduduki oleh Imperium Bizantium ataupun
Imperium Persia.
Pada tanggal 3 Oktober 1932, Irak
diberi kemerdekaan oleh Inggris dan berbentuk negara monarki dengan Faisal bin
Hussein (Faisal I) sebagai raja pertama. Setelah terjadinya revolusi dan
kudeta, semenjak 14 Juli 1958, Irak berubah menjadi negara federal dengan
sistem republik parlementer.
Negara-negara yang berada di kawasan
Teluk Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Oman, ditambah
Yordania memilih bentuk monarki konstitusional dengan raja, sultan, atau emir
sebagai pemimpin dan penentu keputusan tertinggi. Adapun Suriah dan Libanon
semenjak mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1946 memilih bentuk
pemerintahan republik parlementer. Pemerintahan Libanon memiliki keunikan
tersendiri, dimana presiden dijabat oleh penganut Kristen Manorit, perdana
menteri dijabat oleh penganut Sunni, dan ketua parlemen dijabat oleh penganut
Syiah.
Saat
ini, kawasan Timur-Tengah menurut sebagian kalangan tidak hanya terdiri
atas negara-negara Arab dan Israel yang berada di wilayah Asia Barat.
Menurut sebagian kalangan, kawasan Timur-Tengah juga mencakup
negara-negara sekitar yang secara geografis termasuk ke dalam wilayah
tersebut. Negara-negara tersebut antara lain Turki, Iran, Afghanistan,
Pakistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan, dan Turkmenistan.
~Putra Raja Halilintar~
Indra Setyo Rahadhi, S.S..